Pengunjung menikmati pemandangan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai terus menyusut. Hali ini terungkap dalam konsultasi publik terkait penataan blok di Tahura yang digelar oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Propinsi Bali (DKLH Bali), Selasa (24/8).

Konsultasi publik terkait penataan Blok Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai tersebut dihadiri oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Kepala Dinas DKLH Bali, Kabid I DKLH Bali sebagai moderator dan Kepala UPT Tahura Ngurah Rai. Dalam konsultasi publik tersebut, Walhi, Kekal, dan Frontier hadir dan mengkritisi dokumen penataan Blok Tahura Ngurah Rai.

Perwakilan Walhi Bali Untung Pratama, SH., M.Kn menegaskan, dalam dokumen penataan Blok Tahura Ngurah Rai, menemukan luas kawasan konservasi mengalami penyusutan seluas 60 hektare. Atas temuan tersebut, Untung mempertanyakan penyebab terjadinya penyusutan tersebut. “Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena dari masa ke masa Tahura terus menyusut. Pada saat ditetapkan tahura luasnya 1.203,55 hektare sekarang tersisa 1.141,41 hektare,” katanya.

Baca juga:  Kerjasama dengan PT Sampangan, Jembrana Siap Tangani Sampah Dengan Teknologi

Lebih jauh, ia menambahkan, pada dokumen penataan blok, ada temuan diubahnya blok perlindungan menjadi blok pemanfaatan. Hal ini dapat menjadi pintu masuk pemutihan pelanggaran zonasi karena pada 2012, PT. Tirta Rahmat Bahari pernah mengajukan Izin Pengusahaan Pariwisata di blok perlindungan. “Kami khawatir diubahnya blok ini menjadi alat pemutihan pelanggaran zonasi Tahura. Misal ada izin terdahulu yang melanggar peruntukan blok, dengan perubahan blok, izin terseut tidak melanggar lagi,” tegasnya, dalam rilis yang diterima.

Perwakilan dari Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali (Kekal Bali), Made Krisna ‘Bokis’ Dinata, S.Pd, menyatakan, dalam arahan Dirjen KSDAE tersebut, kawasan konservasi juga dapat dilakukan fungsi ekologis, ekonomi dan sosial, sehingga ia mempertanyakan alasan diubahnya blok perlindungan menjadi pemanfaatan oleh DKLH Bali. Lebih lanjut, atas temuan diubahnya blok perlindungan Tahura yang pada tahun 2012 sempat diberikan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam ke PT. Tirta Rahmat Bahari.

Baca juga:  Australia akan Fokus di Lingkungan dan Pariwisata Berkelanjutan

“Tahura ini kawasan konservasi, tujuannya adalah perlindungan kawasan, penataan blok terbaru ini sangat mengkhawatirkan. Karena blok perlindungan justru menyusut drastis dan blok pemanfaatan bertambah ratusan hektar,” ujarnya.

Kepala UPT Tahuran Ngurah Rai, I Ketut Subandi membenarkan adanya penyusutan luas kawasan konservasi seluas 62,14 hektare. Ini, disebabkan ada pelepasan kawasan hutan yang diberikan untuk PT Bali Turtle International Develpoment (PT BTID), dan sudah mendapat penetapan dari Menteri Kehutanan pada 2004 dan pada dokumen 2015 masih dimasukkan sebagai kawasan konservasi. “Memang ada kesalahan dokumen kami selama ini,” ujarnya.

Baca juga:  Kebijakan Gubernur Koster "Perangi" Sampah Plastik Tuai Pujian dari Australia

Terkait dengan diubahnya blok perlindungan menjadi blok pemanfaatan, ia menerangkan belum ada izin baru. Diubahnya blok perlindungan menjadi pemanfaatan bukan berarti memberikan izin kepada pengusaha. “Izin baru tidak ada,” jelasnya.

Di akhir diskusi, Walhi, Kekal dan Frontier mengusulkan agar pada bagian rekomendasi berita acara rapat, ditambahkan poin yang menyatakan revisi blok pengelolaan Tahura Ngurah Rai tidak digunakan untuk pemutihan pelanggaran zonasi. Usulan ini diterima serta dimasukkan oleh pimpinan rapat ke dalam rekomendasi berita acara. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *