Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes.

Tri Datu (Tiga Warna) yang umumnya digunakan sebagai gelang dengan tiga benang yang berwarna merah, putih, dan hitam yang dililitkan di pergelangan tangan yang diyakini memiliki power (kekuatan) untuk perlindungan diri bagi si penggunanya. Gelang tersebut umumnya digunakan saat sasih kenem (sekitar bulan November sampai Desember) yang merupakan musim pancaroba yang membuat kekebalan tubuh (sistem imun) seseorang menurun sehingga banyak masyarakat yang menderita sakit.

Jika sebagian besar masyarakat menderita sakit akibat kondisi alam yang tidak bersahabat, maka kondisi tersebut dinyatakan dengan gerubug (pandemic). Penggunaan gelang Tri Datu menjadi suatu keharusan bagi masyarakat, jika terjadi gerubug dengan harapan agar kekuatan Sang Pencipta dapat mengatasi penyakit yang diderita.

Ketiga warna yang tergabung di dalam gelang Tri Datu tersebut merupakan perwujudan dari Dewa Brahma sebagai Pencipta (how to create), Dewa Wisnu sebagai pemelihara (how to maintain), dan Dewa Iswara sebagai wujud perubahan (how to change). Maknanya adalah, ketika Sang Pencipta menguji umatnya dengan wabah penyakit yang mematikan, maka manusia harus kreatif dan inovatif menciptakan cara penanggulangannya, berusaha untuk memelihara dan melestarikan alam semesta beserta isinya, dan berusaha untuk mengubah keadaan sesegera mungkin agar terhindar dari mara bahaya.

Pembelajaran agama dan kearifan lokal (local wisdom) Tri Datu ini digunakan sebagai spirit untuk meningkatkan sikap dan perilaku tangguh dan heroik orang Bali ketika berada dalam kondisi keputusasaan dan stress yang berkepanjangan. Pandemi COVID-19 yang tidak kunjung berakhir dan dinyatakan sebagai gering agung di Bali seharusnya bisa dihadapi melalui implementasi Tri Datu, karena akan membuat seseorang lebih bijak dalam mengatasi keputusasaan tersebut dan berusaha mulat sarira (introspeksi diri) terhadap perilaku yang dilakoninya selama ini.

Baca juga:  Merdeka Belajar untuk Indonesia

Jika sudah terlalu jauh melenceng dari ajaran agama atau bisama-bisama (petuah atau nasehat) dari para pendahulu dan pemuka agama, sudah seharusnya kembali ke ajaran tersebut sehingga ajeg Bali benar-benar bisa diperjuangkan, bukan hanya sekadar wacana.

Tri Datu akan lebih bermakna jika disinergikan dengan 6 (enam) kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu: (1) secara teknis bisa dikerjakan, (2) secara ekonomis bisa dijangkau, (3) secara kesehatan bisa dipertanggungjawabkan, (4) secara sosial budaya tidak bertentangan, (5) hemat energi, dan (6) ramah lingkungan. Sinergi ini ini dikenal dengan istilah Tri Datu berbasis Teknologi Tepat Guna.

Tujuannya untuk memaksimalkan realisasi program penyelamatan umat manusia dari mara bahaya gering agung pandemi COVID-19 dengan pertimbangan yang sistemik dan holistik. Serta dikaji secara interdisipliner atau menggunakan kajian beberapa ilmu pengetahuan yang relevan dan direalisasikan melalui pendekatan partisipatori yaitu pendekatan yang berusaha melibatkan semua stakeholders secara total sejak perencanaan sampai dengan implementasi dan evaluasinya. Teknologi Tepat Guna dan pendekatan Systemic, Holistic, Interdisciplinary, dan Participatory (SHIP Approach) tersebut dikenal dengan istilah Pendekatan Ergonomi Total.

Pendekatan tersebut ketika disinergikan dengan kearifan lokal Tri Datu, tampaknya sangat relevan untuk diimplementasikan dalam kondisi pandemi COVID-19. Protokol kesehatan yang mewajibkan setiap orang untuk selalu menggunakan masker, cuci tangan dengan sabun, jaga jarak, dan secara rutin berolahraga akan bisa diterapkan secara memadai jika sudah tumbuh kesadaran pribadi betapa pentingnnya menjaga kesehatan diri sendiri dan orang lain.

Dalam hal ini program kesadaran (awareness program) sangat dianjurkan untuk diterapkan, karena akan berimplikasi terhadap upaya pencegahan penularan virus corona yang semakin menggila. Jika sudah tumbuh kesadaran pribadi dari masing-masing orang dengan mengedepankan sikap empati (menempatkan diri kita pada diri orang lain), tat twam asi (kamu adalah saya, saya adalah kamu), dan peduli terhadap sesama manusia dan mahkluk hidup di dunia ini, maka segala sesuatu yang menimpa diri umat manusia akan segera bisa ditanggulangi, karena manusia akan saling menjaga, bekerjasama, dan hidup harmonis (harmonis dengan Sang Pencipta, harmonis dengan sesama manusia, dan hamonis dengan lingkungan yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana).

Baca juga:  "Manastapah" Bukan Ungkapan Sakit Jiwa

Gotong-royong dengan berlandaskan kepada upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat merupakan suatu tindakan yang tepat dilakukan dalam mengatasi pandemi COVID-19 dan mengantisipasi penyebaran virus yang semakin meluas. Teknologi Tepat Guna yang dikemas dalam bentuk pemberdayaan masyarakat melalui implementasi Tri Datu berorientasi ergo-entrepreneurship yang menekankan bahwa prinsip-prinsip kewirausahaan, kesehatan, dan prinsip-prinsip ergonomi hendaknya dijadikan acuan di dalam memerbaiki kualitas kesehatan masyarakat. Hal itu dilakukan demi terwujudnya masyarakat yang sehat, segar, dan bugar serta memiliki jiwa kewirausahaan yang tangguh dan inovatif.

Maraknya usaha kuliner di beberapa daerah di Bali, khususnya di daerah yang masyarakatnya dominan bekerja di bidang pariwisata yang paling merasakan terpuruknya ekonomi saat ini adalah sebagai bukti bahwa sikap kewirausahaan mereka sangat tinggi. Mereka bisa segera beralih ke bidang lain untuk menopang kehidupannya, bukan berdiam diri dan mengumpat keadaan.

Sikap dan perilaku ini sangat penting digetoktularkan kepada orang lain yang masih apatis dan belum beralih ke bidang lain, karena masih terbayang dengan glamornya pariwisata. Implementasi Tri Datu berbasis Teknologi Tepat Guna berorientasi Ergo-entrepreneurship melalui usaha kuliner angkul-angkul merupakan tindakan yang tepat dilakukan dalam menghadapi pandemi.

Profil pedagang kuliner angkul-angkul adalah: (a) mereka berjualan makanan di depan rumahnya masing-masing atau di depan pintu gerbang masuk rumah (angkul-angkul), (b) kuliner ini sangat digemari oleh masyarakat setempat, (c) makanan yang dijajakan adalah makanan khas desa setempat, dan (d) para pembeli umumnya adalah masyarakat yang jalan-jalan di sepanjang rurung (lorong) yang dijadikan areal kuliner angkul-angkul. Kelebihan dari usaha kuliner angkul-angkul adalah: (a) para pedagang tidak perlu menyewa tempat untuk usahanya, karena tinggal menaruh barang dagangannya di depan rumah, (b) dapat memecah kerumunan, karena kuliner ini tersebar di rurung-rurung (lorong) yang arealnya cukup luas dan memanjang, (c) masyarakat yang ingin berbelanja di kuliner tersebut, tinggal melintas di lorong tempat kuliner sudah mendapat belanjaan yang diinginkan, (d) masyarakat tetap bisa jaga jarak dalam situasi pandemic covid 19, dan (e) jika terjadi isolasi desa, maka tinggal memanfaatkan kuliner tersebut saja untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Baca juga:  “Sugihan” Ajak Umat Harmoniskan Alam

Di tempat lain, pelaku wisata yang sudah cukup lama menganggur akibat pandemic covid 19, juga sudah beralih ke bidang pertanian, hortikultura, dan peternakan bahkan ada yang rela menjadi kuli bangunan. Kondisi ini seharusnya didukung oleh pemerintah daerah dengan cara memfasilitasi mekanisme pemasaran hasil pertanian, hortukultura dan peternakan tersebut, agar mereka yang sudah beralih ke bidang lain tersebut tidak mengalami keputusasaan lagi, karena merasa sudah jatuh tertimpa tangga, digigit anjing dan kena rabies (kena sial secara bertubi-tubi).

Bagi mereka yang beralih menjadi kuli bangunan, hendaknya difasilitasi melalui pengerjaan bangunan yang sifatnya padat karya yang selama ini sudah dilakukan saat direalisasikannya bantuan sosial untuk pembangunan fisik. Pengerjaan bangunan fisik yang sifatnya padat karya ini dinilai sangat tepat dilakukan dalam mengatasi pengangguran yang semakin meningkat.

Penulis, Guru Besar Bidang Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *