I Gusti Nurah Bagus Suryawan. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Nurah Bagus Suryawan

Sebuah pesan menyentuh dalam buku Unity Purity Divinity terbitan Vijay C. Desai Pradip Flats Narayan Nagar Road Santivan Ahmedabad Gujarat India, If you cannot help another, at least avoid doing him harm or causing him pain. That itself is a great service. Bila Anda tidak dapat membantu orang lain, setidaknya dapat menghindarinya untuk berbuat menyakiti. Itu saja sudah merupakan layanan yang luar biasa (great service). Dengan kata lain “diamlah“ kalau tidak bisa membantu!

Ketika pemerintah mengumumkan pemberlakuan PPKM Darurat yang berlaku sejak 3-20 Juli 2021, dan salah satu ketentuannya adalah mengizinkan pernikahan yang bisa dihadiri maksimal 30 orang dengan prokes dan tidak makan di tempat (Bali Post, 2 Juli 2021). Apa yang harus dilakukan masyarakat yang punya acara seperti pernikahan, atau ritual lain yang berpotensi menimbulkan kerumunan? Tentu harusnya mematuhi ketentuan itu demi kebaikan bersama.

Masyarakat harus diam, menahan diri agar tidak mengedepankan keinginan untuk mengumpulkan orang dengan melanggar aturan. Di saat pandemi, diam sangatlah berarti terutama diam di rumah, tidak keluyuran di luar rumah. Pikiran yang dibiarkan bergejolak akan semakin mengarah menuju kegelisahan. Sebaliknya bila pikiran diupayakan menuju diam maka akan mengarah pada keheningan yang mendamaikan. Pikiran itu menjadi gelisah karena terlalu aktif merespon objek atau peristiwa-peristiwa yang diperkenalkan oleh panca indera. Bukan pikiran yang salah tetapi panca inderalah yang terlalu banyak mengenalkan objek–objek yang menjadi sumber keinginan (kama).

Baca juga:  Sisi Gelap Pendidikan Sekolah

Pikiran bila dibiarkan merespons semua objek yang dibawa panca indera ke dalam pikiran, akan mengusik munculnya kegelisahan untuk memenuhi hasrat keinginan itu. Diam di rumah bermakna mengurangi kerumunan, memakai masker bermakna mencegah masuknya virus kedalam tubuh, itu juga bermakna mengurangi bicara yang tidak perlu. Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo beberapa hari yang lalu menyampaikan terima kasih kepada masyarakat Indonesia yang berkenan tinggal di rumah jika tidak ada kebutuhan yang mendesak, dan ini adalah bentuk penghargaan dan perhatian pemerintah demi kebaikan bersama.

Selain menyerahkan pikiran pada kebisingan, pikiran bisa diserahkan pada keheningan seperti yang dilakukan oleh pertapa atau meditator. Mereka yang diam melakukan meditasi tentu merutinkan badanya dilatih untuk berdiam penuh makna dengan menyatukan pikiran, perasaan dengan cinta kasih (divine love). Diam bermeditasi bagaikan menempatkan surya kanta di hadapan matahari. Dengan surya kanta kita dapat memusatkan sinar matahari yang cerai berai menjadi terpusat sehingga dapat memunculkan api yang dapat membakar dan memusnahkan.

Baca juga:  Menunggu Penjabaran PPDB 2019

Begitu juga gelombang–gelombang budi dan berbagai perasaan pikiran (manas) terpusat melalui “surya kanta atma“ akan dapat mewujudkan diri sebagai cahaya kemuliaan Tuhan yang dapat menggetarkan tubuh, membakar sifat–sifat kejahatan dan memunculkan rasa bahagia yang tidak terlukiskan Ini bisa dianggap ecstacy dalam meditasi yang selalu menyisakan kesan indah. Diam seperti meditasi membutuhkan latihan yang rutin dalam jam yang sama.

Meditasi bukanlah konsentrasi, dan bukan juga kontemplasi. Diam untuk meditasi terjadi diawali dengan adanya perhatian pikiran pada suatu objek apakah itu titik atau suara pada diri sehingga lama kelamaan mengarah menuju konsentrasi. Bila konsentrasi dilampaui akan muncul keadaan seperti mimpi, dan ini disebut kontemplasi. Bila kontemplasi dilampaui maka ini disebut mediatsi. Seperti yang diungkapkan Swami Vivekananda, ketika beliau memasuki meditasi tubuh fisiknya tidak nampak alias menghilang ini adalah melampaui kesadaran fisik.

Baca juga:  Quo Vadis Pungutan Wisman

Diam di rumah harus disadari dengan baik agar jangan melakukan kegiatan sosial dengan malas–malasan (social idle). Ngerumpi lewat media sosial, cerita ngalor-ngidul, berdebat tentang berbagai gagasan tanpa makna hanya melewatkan waktu begitu rupa, apalagi menyebarkan berita bohong. Orang yang tidak bisa diam, dia bisa menjadi setengah beradab karena menyalahkan dirinya sendiri atau tidak beradab karena menyalahkan orang lain. Yang beradab pasti menggunakan akalnya yang bijak sehingga tidak perlu menyalahkan siapa-siapa.

Diam dengan penuh makna di samping mematuhi ketentuan pemerintah, disadari atau tidak sebenarnya kita sedang melakukan layanan (service) dengan hanya diam di rumah sehingga mencegah kerumunan, apalagi kita dapat menjauhkan diri dari penyebaran berita bohong dan itu sudah cukup membantu untuk kebaikan bersama, ini juga termasuk layanan luar biasa (great service).

Penulis, Pensiunan Pegawai Telkom

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *