Oleh IGK Manila
Meskipun sudah beberapa pekan berlalu peringatannya, perihal kemerdekaan Indonesia terus muncul dalam benak saya. Terutama bahwa saat ini kita sebagai sebuah bangsa masih terus berjuang melepaskan diri dari “penjajahan” pandemi Covid-19 serta berbagai konsekuensinya.
Ketika negara-negara lain—terutama negara yang didukung oleh situasi pemerintahan yang lebih terkelola (governable), baik karena dukungan infrastruktur maupun faktor demografis-geografis—telah memiliki herd immunity yang lebih baik, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara yang masih harus bekerja keras mengatasi pandemi. Indikasinya mudah saja, yakni persentase penularan dan tingkat kematian.
Oleh karena itu, selain menyadarkan diri kembali bahwa kemerdekaan fisik bangsa adalah sebuah anugerah berkat darah dan keringat para pendiri bangsa, peringatan kemerdekaan ke-76 itu sendiri adalah momentum bagi pikiran, sikap dan aksi untuk memerdekakan diri dari penjajahan-penjahan yang non-fisik. Sebab sebagai bangsa merdeka, kita tidak bisa dikatakan telah merdeka secara ekonomi, sosial, budaya, politik, kesehatan dan seterusnya.
Dalam kesempatan ini, saya ingin berwacana soal apa yang saya sebut sebagai literasi olahraga kesehatan. Ini tidak saja sesuai dengan momentum kemerdekaan, tetapi lebih-lebih lagi terkait dengan penjajahan pandemi Covid-19.
Literasi Kesehatan
Mari kita mulai dari apa yang disebut sebagai literasi kesehatan (health literacy). Segenap rakyat Indonesia, yang dalam konteks ini seluruh penduduk Bali, wajib memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku sehat. Tidak saja pariwisata, tetapi juga sektor-sektor lainnya, hanya mungkin bergerak, pulih dan berkembang jika dijalankan oleh orang-orang yang sehat. Di tengah pandemi ini terutama, pertama-tama kita memiliki momentum yang tepat untuk secara intensif dan besar-besaran menggerakkan masyarakat membangun literasi kesehatan. Kemunduran ekonomi karena ketergangguan sektor pariwisata bisa digunakan sebagai cambuk supaya cara pikir, sudut pandang, sikap dan perilaku sehat menjadi lebih baik.
Kedua, secara serius pemerintah Bali dengan cepat bisa belajar dari negara-negara yang memiliki pariwisata yang maju dan kini sudah mulai dibuka mengenai ragam standar kesehatan. Berdasarkan standar-standar ini, pemerintah membuat desain dan rencana kerja yang sistematis. Sasarannya adalah supaya siapapun yang ingin berkunjung ke Bali menjadi yakin bahwa rakyat Bali memiliki standar hidup dan aktivitas pariwisata yang sehat atau dalam konteks saat ini adalah bahwa Bali berhasil membangun herd immunity.
Literasi Olah-fisik
Dalam pandangan dan pengalaman saya, salah satu prioritas yang bisa dilakukan adalah apa yang disebut sebagai pembangunan literasi olah-fisik (physical literacy) dari rakyat Bali, yakni sebagai hal yang melekat-erat dengan literasi kesehatan. Selama ini, tentu saja, pengembangan pariwisata dan persentuhan Bali dengan dunia internasional sudah membawanya pada satu titik tertentu dari literasi kesehatan. Hanya saja, tuntutan situasi dan kondisi seperti pandemi saat ini mewajibkan Bali untuk bergerak lebih jauh lagi. Sementara itu, terkait dengan kesehatan, istilah yang lebih tepat adalah physical literacy yang saya terjemahkan saja sebagai literasi olah-fisik.
Kenapa olah-fisik? Jawabnya sederhana saja, yakni bahwa rakyat itu sehat bukan hanya karena obat-obatan, makanan, suplemen atau asupan-asupan semisalnya. Sebaliknya, manusia bisa sehat juga karena pandai mengelola tubuh atau raganya secara sadar, rutin dan sistematis. Caranya bisa saja dengan melakukan olahraga tertentu atau dengan melakukan kegiatan-kegiatan fisik yang baik dan sehat. Salah satu definisi physical literacy adalah kepemilikan akan “motivasi, kepercayaan diri, kompetensi fisik, pengetahuan serta pemahaman dalam menimbang dan melakukan berbagai kegiatan fisik dalam kehidupan sehari-hari” (The International Physical Literacy Association, May 2014).
Pengetahuan yang disertai pemahaman ditandai dengan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mempraktikkan kegiatan-kegiatan berkualitas, baik dari segi manfaat kesehatan maupun kekuatan fisik. Pada gilirannya, pengetahuan dan pemahaman tersebut melahirkan semacam konsep diri tentang gaya hidup sehat (healthy lifestyle) serta gaya hidup yang aman dan nyaman dalam setiap kegiatan kehidupan. Sebagai penutup, dalam bayangan saya, keberhasilan pemerintah dan rakyat Bali dalam membangun literasi olahraga kesehatan—atau literasi olah-fisik dan kesehatan—akan berdampak banyak, bukan hanya pada sektor pariwisata. Sebut saja seperti dampak positif bagi angka harapan hidup karena terdapatnya pola hidup sehat dan kemampuan ekonomi yang membaik.
Penulis, Pelaku Olahraga, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan anggota Majelis Tinggi Partai NasDem