Oleh A.A Ketut Jelantik, M.Pd
Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan akreditasi sekolah/ madrasah dilaksanakan untuk menentukan kelayakan satuan dan / atau program pendidikan. Tahun 2021 ini, proses akreditasi di Bali sedang dalam tahap persiapan.
Harapan agar visitasi akreditasi dilaksanakan secara tatap muka harus ditunda sebab kebijakan PPKM level 4 memaksa pelaksanaan akreditasi tahun ini dilaksanakan secara dalam jaringan (daring).
Ya, pelaksanaan akreditasi sekolah/ madrasah dalam dua tahun terakhir mengalami perubahan yang cukup revolusioner dan progresif, ditandai dengan perubahan paradigma sistem, mekanisme dan pelaksanaannya. Perkembangan sains dan tehnologi telah berimplikasi pada terjadinya perubahan paradigmatis manusia dalam segala dimensinya.
Lanskape kehidupan manusia berubah dengan sangat cepat. Pengusangan berlangsung dramatis dan masif. Hal-hal baru akan dengan sangat cepat tergantikan oleh hal yang lebih baru.
Dunia pendidikan juga tak luput dari fenomena tersebut. Pendek kata orangtua menuntut lulusan yang bukan saja memiliki keterampilan abad 21, namun juga berkarakter.
Tingginya ekspektasi orangtua terhadap mutu lulusan memaksa penyelenggara pendidikan untuk melakukan perubahan yang sangat paradigmatis.
Dari paradigma pemenuhan administrative (compliance ) ke ketercapaian kinerja (perfomance). Reorientasi ini secara langsung juga berdampak pada tuntutan masyarakat pada jenis, bentuk dan mekanisme evaluasi. Dalam konteks pendidikan, dikenal dua jenis evaluasi di sekolah.
Evaluasi internal dilaksanakan oleh sekolah, serta evaluasi eksternal yang dilakukan oleh lembaga di luar sekolah. Evaluasi bukan saja penting dalam rangka menilai capaian kinerja warga sekolah, namun juga sebagai bentuk akuntabelitas publik sekolah terhadap mutu layanan yang diberikan.
Sebelum tahun 2020, pelaksanaan akreditasi di sekolah bagi sebagian orang memang dianggap tidak lebih dari sebuah rutinitas, “ritual” lima tahunan. Karena dianggap “ritual” lima tahunan implikasi dari pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah inipun cenderung hanya sebatas kegiatan seremonial.
Ketika sekolah didatangi tim asesor maka yang diprioritaskan adalah bagaimana “menyambut” kedatangan asesor semeriah mungkin. Kondisi seperti ini menyebabkan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/ Madrasah ( BAN-S/M ) mengambil kebijakan “radikal” dan fundamental. Lembaga independen dan mandiri ini melakukan reorientasi mekanisme dan pelaksanaan akreditasi sekolah.
Instrumen akreditasi dirombak sehingga lahir IASP 2020 (Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan) tahun 2020. Secara substansial IASP 2020 telah dapat dijadikan sebagai quality assurance karena telah memenuhi sejumlah persyaratan. IASP 2020 diyakini dapat dijadikan instrument pembeda kualitas antara satu sekolah dengan sekolah lainnya (discriminating ), selain itu bisa dilaksanakan dengan mudah (implementable), serta hasilnya lebih mudah dipahami masyarakat awam. IASP 2020 akan mendorong pelaksanan akreditasi sekolah/ madrasah terlaksana secara komprehensif dan mendalam.
Dalam perspektif lain, paradigma baru pola pelaksanaan akreditasi membuktikan jika BAN-S/M menyadari perlunya sebuah terobosan baru dalam pelaksanaan akreditasi sekolah/ madrasah. Sebuah paradigma baru yang up to date, yang mampu menjawab tantangan jaman, sekaligus mengakselerasi kesiapan sekolah dalam menghadapi pesatnya perkembangan zaman dengan segala hegemoniknya.
Perubahan paradigma yang digagas oleh BAN-S/M diharapkan akan mampu mengeliminir berbagai permasalahan yang selama ini terjadi. Dengan menjadikan performance atau kinerja sebagai hasil akhir akreditasi maka pihak yang terlibat benar-benar akan menjadikan hal-hal yang substantive sebagai sebuah prioritas. Sekolah akan mempersiapkan bukti-bukti tentang bagaimana melakukan sesuatu, seberapa hasilnya dan dampak yang ditimbulkan, serta apa tindak lanjut yang akan dan sudah dilakukan.
Penulis Pengawas Sekolah di Dikpora Bangli juga Asesor Sekolah/Madrasah BAN-SM