I Kadek Pranajaya. (BP/Istimewa)

Oleh I Kadek Pranajaya

Warisan budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dipelihara demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa. Bangunan cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki arti dan peran penting bagi penguatan identitas lokal dan nasional.

Salah satu upaya perlindungan dan pemeliharaan benda/situs warisan budaya adalah dengan melakukan pemugaran melalui restorasi. Namun, belakangan yang kita hadapi bersama, masih saja kita jumpai bangunan pura di renovasi tanpa memperhatikan nilai sejarah yang terkandung di dalamnya karena seringkali memunculkan opini di masyarakat bahwa pura bukanlah bagian dari bangunan peninggalan warisan leluhur yang sudah berumur ratusan hingga ribuan tahun.

Persepsi ini sering memunculkan bentuk dan bahan-bahan baru dalam perbaikan pura sehingga kurang dijaga dan dilestarikan. Turunnya dana bantuan sosial oleh pemer￾intah provinsi dan kabupeten/kota di Bali me￾nyebabkan banyak pura-pura di Bali dibongkar tanpa mengembalikan kembali secara utuh ke dalam bentuk dan ornamen seperti semula.

Baca juga:  Dampak Integrasi NIK dan NPWP

Tindakan ini tanpa disadari telah menghilangkan jejak dan nilai sejarah yang terkandung di dalam bangunan tersebut. Perlu adanya upaya pelestarian terhadap arsitektur warisan melalui kegiatan restorasi. Desa Guwang adalah salah satu desa yang bertempat di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar yang memiliki banyak peninggalan bangunan yang berumur di atas 50 tahun, salah satunya adalah Pura Desa
dan Pura Puseh yang diperkirakan berumur lebih dari 200 tahun.

Melalui kapital modal Desa Guwang, Sukawati Gianyar sepakat melakukan restorasi pada tembok dan bale kulkul di Pura Desa dan Pura Puseh. Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan restorasi adalah upaya untuk mengembalikan kondisi bangunan gedung cagar budaya secara akurat sesuai kealiannya dengan cara menghilangkan elemen/komponen dan material tambahan, dan/atau mengganti elemen/komponen yang hilang agar menjadi seperti wujud sebelumnya pada suatu periode tertentu.

Baca juga:  Kesadaran Mengawal Bahasa Bali

Pasal 77 dalam UU No. 11/2010 menyebutkan pemugaran cagar budaya harus memperhatikan: a) keaslian bahan, benntuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan, b) kondisi semula dengan
tingkat perubahan sekecil mungkin, c) penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak, d) kompetensi pelaksana di bidang
pemugaran, e) Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan cagar budaya.

Kegiatan pemugaran sebuah warisan budaya harus dikontrol dengan studi yang mendalam dan profesional. Sesungguhnya banyak faktor yang dapat dikatakan sebagai penyebab dalam perubahan ataupun perkembangan sebuah pura, antara lain : (1) tidak adanya dokumentasi yang lengkap tentang keberadaan pura; (2) pemahaman masyarakat masih minim terhadap proses perbaikan pura; (3) tidak adanya aturan tertulis berupa, awig-awig atau peraarem (aturan tertulis), mengenai tata cara proses perbaikan pura; (4) keinginan masyarakat dalam melakukan renovasi pura dengan praktis dan murah; dan (5) ketidakpekaan masyarakat akan identitas
wilayahnya (Putri and Widiantara, 2019).

Baca juga:  Kopi, Potensi PAD di Luar Pariwisata

Dalam Peraturan Menteri No. 01/PRT/M/2015 tentang gedung cagar budaya yang dilestarikan pada Pasal 10 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemugaran bangunan cagar budaya yang dilestarikan melalui kegiatan: a) persiapan, b) perencanaan teknis c) pelaksanaan, d) pemanfaatan, dan e) pembongkaran. Kegiatan restorasi diharapkan pula dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui promosi warisan budaya dalam kegiatan pariwisata di tingkat
nasional maupun internasional.

Eksistensi arsitektur tradisional Bali masih dapat dipertahankan. Menurut Boerdieu, modal budaya sangat erat hubungannya dengan modal simbolik, sebab keduanya saling mendukung dalam arena.
Kekuasaan simbolik yang ada di Desa Guwang
adalah dengan memanfaatkan modal budaya yang dimilikinya seperti kemampuan dalam praktek ke undagian dan pengetahuan tentang arsitektur tradisional Bali oleh penglisir dengan memberikan tauladan kepada generasi muda tentang pentingnya mempertahankan arsitektur tradisional Bali.

Penulis, Pengajar di Institut Desain dan Bisnis Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *