Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Kecipak celoteh jalinan bunyi riuh cak cak cak dari seni pertunjukan Cak, dua tahun belakangan ini, senyap di Pulau Bali. Terjerembabnya pariwisata Bali oleh terjangan pandemi COVID-19, membungkam bahana seni pentas unik dan eksotik yang tata garap estetik musiknya menggunakan olah vokal para pemainnya.

Puluhan grup Cak yang biasanya tampil di hadapan wisatawan, kini segan bubar dan mencoba tegar pun
modar. Mobil barang (truk) terbuka yang biasanya mengangkut mereka menuju atau balik dari tempat pentas di Kuta, Sanur, Ubud, dan Nusa Dua tak tampak berseliweran lagi.

Saput poleng (kain kotak-kotak hitam putih) yang mereka kenakan saat mempesona pelancong, entah di mana dicampakkan. Para pemain Cak hanya pasrah merintih bersolo cak cak cak, dalam kesedihannya masing-masing.

Sejak dihadirkan sebagai seni pertunjukan turistik, baru karena petaka jagat Covid-19, membuat kesenian yang dikembangkan dari bagian ritual sakral tolak bala sanghyang ini, mengalami kevakuman pentas pada titik nadir. Saat Bom Bali I (2002) dan II (2005) mengoyak Pulau Dewata, walau sektor pariwisata sempat terpuruk, tetapi seni pentas turistiknya, termasuk Cak, masih punya celah mengais rejeki.

Baca juga:  Mencermati Program Studi Pengembangan "Local Genius" Bali

Namun sekarang, tiada ruang dan peluang bagi pegiat Cak untuk mengendus uang. Cak yang mengharuskan adanya unsur gesekan fisik rapat serta melibatkan sekitar 40-50 pemain, bila pun dipertunjukkan, akan menentang anjuran physical distancing dan social distancing.

Lebih-lebih cak yang keseluruhan artistiknya bertumpa pada estetika vokal, akan hanya terdengar menggumam gamang bila para pemainnya harus
menggunakan masker atau face shield. Kendati di kalangan wisatawan Cak latah disebut sebagai seni tari, sejatinya konsep artistik Cak adalah musik, tepatnya seni vokal.

Konsep musikal Cak bermuatan unsur-unsur estetika dalam gamelan Bali. Salah satu unsur keindahan dalam permainan gamelan Bali adalah kotekan-nya yaitu jalinan antara nada-nada. Cak memakai konsep harmoni ornamentatif secara jalin menjalin vokal berlapis-lapis.

Para pemain Cak membagi kelompok-kelompok
jalinannya mengikuti kendali tukang gending
dan taat pada ritme dan aksentuasi yang dikomandoi oleh tukang tarik. Pembagian tugas musikalnya—nada, tempo, melodi, irama, harmoni–hampir sama dengan apa yang berlaku pada masing-masing instrumen dalam gamelan Bali.

Baca juga:  Gerakan Koperasi Mesti Lakukan Terobosan pada Masa Pandemi

Bedanya, Cak adalah orkestrasi yang menggunakan media mulut. Seni gamelan mulut yang memiliki
kedekatan dengan cak juga dapat disimak pada Cakepung di Bali Timur, Rengganis di Bali Utara, dan
Genjek di Bali Selatan. Namun jika dicermati, secara estetik musikal, Cak lebih kompleks.

Sebagai mustika budaya, Cak bukan secekak art by metamorphosis atau seni akulturasi antara selera estetis seniman Bali dengan selera wisatawan. Imaji telapak-telapak tangan dengan jemari yang mengembang dari para pemain Cak, bak mengekspresikan dinamika kebudayaan yang bertransformasi terus-menerus.

Rajutan vokal cak cak cak, melantunkan kasih kesatuan dalam keberagaman dari bahana interaksi kehidupan yang saling terhubung meniti peradaban. Dua kutub kehidupan yang tarik menarik dan tolak menolak dalam simbolisme kain kotak-kotak hitam putih (poleng) yang dipakai para pemain Cak mengetuk kesadaran kesemestaan hidup yang tak luput dari dualisme baik dan buruk, positif versus negatif.

Baca juga:  Paradoks Hibah Modal LPD Masuk Lingkup Keuangan Negara

Karena itu, geliat optimisme belum henti berkobar di
tengah pesimisme yang mendera kehidupan akibat cengkeraman pandemi Corana seperti sekarang ini.
Paduan koor vokal Cak dalam ritual sakral sanghyang sesungguhnya adalah jejak kearifan ketegaran mengarungi cobaan kehidupan.

Di Bali ada beberapa jenis Sanghyang yang dihadirkan sebagai ritual tolak bala, kala merebaknya petaka nyata (penyakit) dan teror gaib (misterius). Tetapi, sayangnya kini, pageblug Corona justru memupus optimisme yang digaungkan Cak. Maklum, konsekuensi kerumunan dalam konteks sakral ritual tolak bala yang lazim berlangsung komunal, akan berbenturan dengan protokol kesehatan pandemi.

Tak ada masyarakat Bali yang nekat menggelar prosesi Sanghyang Dedari lengkap dengan iringan vokal cak-nya atas dorongan psiko-religi menangkal
atau mengenyahkan rongrongan Covid-19 yang
tak kunjung melandai.

Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *