Seorang petani memeriksa bibit padinya yang telah tertanam di Renon, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Keterpurukan perekonomian Bali akibat gempuran pandemi COVID-19 mesti dijadikan pelajaran ke depannya. Jangan lagi hanya sektor pariwisata yang dijadikan tumpuan perekonomian Bali.

Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), mengatakan sektor pertanian mesti digarap lebih serius ke depannya. Bahkan, untuk menggairahkan sektor pertanian, pihaknya akan mendorong pemanfaatan teknologi.

Penerapan teknologi di bidang pertanian sangat penting untuk menarik minat generasi muda menekuni sektor ini. Dengan demikian, ke depan sektor pertanian bisa memberi kontribusi yang sama besar dengan pariwisata.

Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati. (BP/Istimewa)

Cok Ace, mengungkapkan pandemi COVID-19 telah menekan pertumbuhan ekonomi Bali hingga titik nadir. Bahkan, Bali mengalami kontraksi ekonomi paling hebat jika dibandingkan provinsi lain di Indonesia karena sangat bergantung pada sektor pariwisata.

Disebutkan, 54 persen PDRB bersumber dari sektor pariwisata, sehingga di masa pandemi, Bali kehilangan devisa hingga Rp 9,7 triliun setiap bulan. Untuk itu, Wagub Cok Ace mengajak masyarakat Bali untuk kembali menekuni pertanian dan membangkitkan kerajinan lokal di tengah kondisi pandemi Covid-19.

Baca juga:  Tanpa Surat Rapid Test, Dua Duktang Dikembalikan

Dengan harapan bisa mendongkrak aktivitas perekonomian yang kini tengah tertekan. Apalagi, Bali pada awalnya hidup di sektor agraris kemudian beralih pada sektor pariwisata, dan secara tanpa sengaja melompati sektor industri pengolahan (sekunder).

Kontribusi sektor pariwisata sebelum pandemi mencapai 68 persen, sedangkan sektor pertanian dan pengolahan berkisar 15 hingga 17 persen. ‘Oleh karena itu, beberapa langkah yang saat ini bisa dilakukan yakni kembali menekuni sektor pertanian, kelautan, perikanan, dan membangkitkan kerajinan lokal sebagai mata pencaharian penopang ekonomi rakyat,” tandasnya.

Untuk mendukung peningkatan produk pertanian lokal, sebagai payung hukum Pemerintah Provinsi Bali juga telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali  (Pergub) No 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali. Petani lokal Bali akan memiliki kepastian harga dan keuntungan dalam menjual hasil panennya.

Dengan adanya payung hukum tersebut, Cok Ace berharap masyarakat semakin semangat dalam menekuni dunia pertanian. Sehingga sektor pertanian dan pariwisata menjadi satu kesatuan mata rantai yang tidak terpisahkan dan saling menguatkan.

Baca juga:  Pendaftaran Calon Anggota DPRD Dibuka Hingga 17 Juli

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Provinsi Bali, Trisno Nugroho, mengatakan bahwa ke depan potensi pengembangan sektor pertanian, khususnya di Bali masih sangat besar. Namun demikian, sejumlah tantangan juga masih menghadang.

Pertama, dari sisi faktor produksi, teknologi produksi masih rendah dengan kapasitas SDM yang terbatas sehingga produktivias masih rendah dan nilai tambah pengolahan komoditas juga terbatas. Kedua, dari sisi kelembagaan, peran kelembagaan kelompok tani juga masih belum optimal baik dari sisi hulu seperti pengawasan praktek bertani yang baik (Good Agriculture Practices) maupun dari sisi hulu seperti implementasi korporatisasi petani untuk mencapai skala ekonomi, mendapat pembiayaan, dan pasar yang lebih pasti.

Dan ketiga, tantangan terkait kerjasama perdagangan luar negeri (ekspor) yang mencakup hambatan non tarif seperti pemenuhan persyaratan/sertifikasi pasar internasional maupun hambatan tarif yang dikenakan oleh negara pasar.

Terkait tantangan-tangan di atas, terutama terkait peningkatan produktivitas dan nilai tambah, perlu transformasi pertanian ke arah digitalisasi pertanian (pertanian 4.0). Penerapan digitalisasi pertanian di sisi hulu diharapkan akan mengubah cara bertani, perilaku petani, hingga cara penyediaan input.

Baca juga:  Tiga Patung Dibangun di Hulu Telaga Mas Gunung Agung, Pendiriannya Masih Misteri

Kemudian, digitalisasi sisi hilir akan memperluas cakupan pasar, efisiensi harga, hingga cara penjualan produk. Apalagi, upaya digitalisasi pertanian ini sudah mulai terlihat di Indonesia melalui berbagai model dan inovasi, seperti pertanian vertikal, pertanian presisi, dan pertanian pintar (smart farming).

Di wilayah Bali-Nusra sendiri, penerapan Pertanian 4.0 masih terbatas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali tahun 2020, implementasi pertanian digital di Bali-Nusra masih didominasi pada sisi hilir, yaitu pemanfaatan e-commerce untuk penjualan produk.

Selain itu, implementasi pertanian digital tersebut belum dilakukan secara end to end. Namun, apabila dilihat secara spasial, tingkat implementasi pertanian 4.0 di Bali relatif lebih tinggi dibandingkan NTB dan NTT. Hal ini dipengaruhi oleh faktor struktural seperti ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *