Oleh I Nyoman Rutha Ady, S.H, M.H
Merebaknya akomodasi pariwisata seperti hotel, vila dan jenis-jenis penginapan lainnya secara masif di Bali bukan tanpa alasan. Padahal di awal perkembangan pariwisata tahun 1970–1980-an, Pemprov Bali sangat ketat mengendalikan pertumbuhan jumlah akomodasi dengan kebijakan pembatasan pemberian izin investasi untuk hotel hanya di beberapa destinasi saja.
Bali sejatinya sejak tahun 1920-an sudah dikunjungi oleh orang asing terutama para petualang dari Benua Eropa dan Amerika meskipun masih dalam jumlah kecil. Keberadaan turis asing di Bali waktu itu secara tidak langsung menjadi promosi melalui tulisan perjalanannya di berbagai buku maupun media cetak lainnya tentang keindahan alam, budaya dan kehidupan masyarakat agraris di Bali.
Tidak aneh apabila ada warga negara asing mengenal nama Bali tetapi tidak tahu Indonesia. Pembatasan pemberian izin hotel dan berbagai jenis sarana penunjang pariwisata lainnya trnyata tidak mampu dijalankan oleh pemerintah secara konsisten.
Tahun 1970-an pemberian izin akomodasi di Bali terbatas hanya untuk sestinasi Sanur (Kota Denpasar), Ubud (Kabupaten Gianyar) dan Kuta (Kabupaten Badung). Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah ketika itu berupa sertifikat losmen dan bukan izin hotel.
Perkembangan sektor pariwisata yang semakin pesat sebagai akibat dari perluasan fasilitas dan status Bandara Nurah Rai sebagai bandara internasional. Menyikapi kondisi ini masyarakat melihat adanya peluang positif untuk mulai berbisnis menyediakan fasilitas penginapan meskipun secara kualitas masih sangat sederhana.
Destinasi yang dekat dengan bandara seperti Kuta kebanjiran turis. Akhir tahun 1970 sampai tahun 1980-an pertumbuhan akomodasi di Kuta dan sekitarnya seperti jamur di musim hujan. Di mana-mana berdiri rumah penginapan dengan nama accommodation, homestay, lodging house, beach inn dan yang lainnya.
Kedatangan turis asing ke Bali yang terus menerus secara signifikan akhirnya menggoda pemerintah pusat untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu peluang mendapatkan devisa. Kemudian berkembang hotel-hotel mewah dengan fasilitas kelas dunia.
Sementara penginapan di Sanur, Kuta dan Ubud tetap
menyandang predikat izin losmen. Inilah awal pemicu munculnya kecemburuan di kalangan pengusaha kepariwisataan.
Tahun 1990 Pemprov Bali akhirnya mengubah kebijakan yang semula hanya mengeluarkan izin losmen untuk destinasi Kuta, Sanur dan Ubud, selanjutnya melonggarkan pemberian izin hotel untuk kawasan tersebut. Tahun 1990-2000 Bali mencatat era keemasan bisnis pariwisata dengan pertumbuhan jumlah kamar hotel yang tidak terbendung.
Ternyata era keemasan tidak selalu membawa dampak positif karena di saat yang sama muncul price war (perang tarif) sebagai akibat dari pertumbuhan sarana pariwisata yang tidak terkendali sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat.
Izin hotel di Bali terlanjur “diobral”.
Apabila dibandingkan status kepemilikannya, justru
masyarakat pebisnis lokal lebih banyak berada di posisi kepemilikan akomodasi kelas menengah ke bawah. Sebaliknya pemilik saham hotel berbintang vila, restoran dan tempat-tempat hiburan mewah berada di tangan pebisnis luar Bali termasuk warganegara asing.
Persaingan bisnis pariwisata yang tidak sehat juga berimbas pada semrawutnya tata ruang Bali. Rezim yang berganti sebagai akibat dinamika politik juga melahirkan elite penguasa baru.
Puncaknya ketika rezim reformasi melahirkanUU tentang Otonomi Daerah (UU no.32 Tahun
2004) mendorong terjadinya pembentukan daerah otonomi baru (provinsi, kabupaten, kota)dengan memunculkan figur elite pejabat politik penguasa sebagai kepala daerah. Sembilan “raja-raja” baru di kabupaten dan kota di Bali memerlukan pendapatan yang cukup untuk mendukung pelaksanaan program-program pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan selaras dengan janji-janji kampanyenya.
Melihat pariwisata sangat dominan sebagai sumber
PAD, setiap kepala daerah berlomba-lomba mencari investor agar tertarik menanamkan modalnya di bidang bisns pariwisata. Karena fakta empiris
menunjukkan hanya kabupaten/kota dengan
jumlah hotel dan restoran cukup banyak berpeluang meraup pajak dan retribusi daerah yang
signifikan.
Otoritas provinsi tidak lagi memiliki kewenangan mengatur “raja-raja” yang semakin agresif mencari sumber-sumber pendapatan baru dengan mengembangkan daerahnya menjadi destinasi pariwisata unggulan.
Penulis, pemerhati masalah pariwisata tinggal di Legian – Kuta