Oleh Achmad Ali
Belakangan ini perhatian dan komitmen pemerintah dalam menangani kemiskinan ekstrem di masa pandemi Covid-19 demikian besar. Pemerintah memasang target penurunan angka kemiskinan ekstrem secara nasional hingga nol persen pada akhir tahun 2024.
Anggaran pun digelontorkan untuk penyelesaian
kemiskinan ekstrem di tahun 2021 hingga mencapai Rp 440,69 triliun. Seperti dikatakan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin saat memimpin Rapat Pleno Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) secara virtual 26 Agustus 2021 lalu, anggaran itu digunakan untuk bansos, subsidi serta program kegiatan pemberdayaan di tujuh provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua.
Mewujudkan target penurunan penduduk miskin ekstrem bukanlah perkara mudah. Selain dibutuhkan validasi dan pemutakhiran data keluarga miskin ekstrem untuk mencegah intervensi program tidak salah sasaran, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah mampu memilih program penanggulangan kemiskinan yang tepat dan efektif.
Ciri penduduk miskin ekstrem biasanya tak memiliki aset produksi sendiri, bekerja dengan upah rendah, dan tidak memiliki tabungan sebagai penyangga ekonomi keluarga. Chambers (1987) dalam Suyanto (2020) menyebut ciri utama penduduk miskin ekstrem
adalah rentan atau rapuh.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia dalam lima tahun terakhir, jumlah penduduk miskinnya terus menurun. Pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin tercatat 10,64 persen atau 27,77 juta jiwa, maka per Maret 2021 angka kemiskinan sedikit turun menjadi 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa. Dari jumlah absolut sebanyak 27,54 juta jiwa penduduk miskin itu, menurut catatan TNP2K sebanyak 10,86 juta jiwa atau empat persen di antaranya dilaporkan
masuk dalam ketegori penduduk sangat miskin
atau miskin ekstrem.
Data kemiskinan ekstrem secara nasional tersebut berada di 212 kabupaten/kota dari 25 provinsi, yang merupakan kantong kemiskinan dengan cakupan 75 persen dari jumlah penduduk miskin. Bahwa di satu sisi, jumlah penduduk miskin baik secara absolut maupun persentase telah terjadi penurunan dalam lima tahun terakhir memang tak terbantahkan.
Namun pada sisi lain, secara spasial, disparitas kemiskinan antar wilayah perkotaan dan perdesaan
di Indonesia terlihat masih tinggi. Hal ini tercermin dari data BPS, dimana jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 di perkotaan mencapai 12,18 juta jiwa atau 7,89 persen. Sebaliknya, di perdesaan sudah mencapai double digit yakni 13,10 persen atau 15,37
juta jiwa.
Fakta ini juga seiring dengan memburuknya tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah perdesaan. Tercatat, indeks kedalaman kemiskinan pada Maret 2021 di perdesaan sebesar 2,27 lebih tinggi dari perkotaan 1,29.
Sedangkan indeks keparahan kemiskinan di perdesaan sebesar 0,57 lebih tinggi dari perkotaan 0,31. Untuk itu, ada beberapa catatan yang pantas kita beri perhatian dalam upaya menekan kemiskinan ekstrem.
Pertama, pemberdayaan penduduk miskin di perdesaan harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Apalagi dalam menghadapi pandemi Covid-19, peran desa dalam menahan laju peningkatan kemiskinan juga demikian besar. Menjaga daya beli masyarakat desa dan meningkatkan kinerja serta potensi desa perlu terus didorong.
Kedua, keberadaan penduduk miskin di perdesaan tentu berkorelasi dengan sektor pertanian. Berdasarkan data BPS, sebagian besar rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian dengan persentase sebesar 46,30 persen. Di tengah pandemi Covid-19, sektor pertanian memang mengalami pertumbuhan, tetapi bebannya menjadi semakin berat.
Hal ini disebabkan pengangguran di kota yang disebabkan pandemi kembali ke desa, dan menjadi petani. Ketiga, untuk jangka pendek, bansos yang bersifat langsung tunai atau bantuan pangan masih sangat diperlukan mengingat kebutuhan akan pangan (makanan) masih menjadi prioritas pemenuhan kebutuhan penduduk miskin.
Bahkan kontribusi komoditas makanan terhadap garis kemiskinan di atas 70 persen baik di wilayah perdesaan 76,47 persen maupun perkotaan 72,22 persen. Keempat, pemerintah daerah dapat memperluas cakupan program-program perlindungan sosial yang telah ada, terutama untuk rumah tangga
sangat miskin (miskin ekstrem) dan rentan miskin
yang belum tercakup program bansos manapun.
Penulis adalah Statistisi Ahli Madya, Koordinator Fungsi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik pada BBPS Provinsi Papua Barat.