Oleh Kadek Suartaya
Janger adalah seni pertunjukan yang berungkap dengan lenggang gerak dan kumandang lagu, dikatagorikan sebagai tari pergaulan muda mudi Bali. Perpaduan unsur tari yang sederhana dengan lirik-lirik gending yang merakyat menjadikan kesenian ini menyebar girang di seluruh penjuru Pulau Dewata.
Pascakemerdekaan Republik Indonesia, salah satu kesenian yang digandrungi Bung Karno ini mengalami euforia nan semarak. Lantunan arak kijang jangi janger begitu familiar dicelotehkan masyarakat Bali. Popularitas Janger terasa kian mencuat memasuki paruh awal tahun 1960.
Ada suatu “histeria” yang merasuki sekaligus merecokinya. Binar kegairahan permisif mendistorsi kemuliaan kesenian tersebut. Muatan kehidupan tenteram dan damai yang lazim membuncah dalam tari ini, justru, menepi, tersingkir oleh sisipan dan bahkan dominasi kecap partai politik. Ketika disanjung dan didaulat menjadi corong partai–pada masa sengkarut kehidupan saat itu–menorehkan catatan kelam bagi tari Janger dan sekaligus merupakan era paling sial bagi sebagian penggiatnya. Sebelumnya, Janger yang sejarahnya berembrio dari Desa Menyali, Buleleng, tersebut berkembang secara natural dalam geliat yang landai saja.
Ketika situasi politik semakin meruncing di Bali pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-jelang 1965), pementasan sekaligus persaingan tari Janger semakin memanas. Kompor membaranya pertunjukan Janger ini disulut oleh militansi dan keagresifan semangat kepartaian. Dua partai besar, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang eksis di Bali saat itu, tidak menyembunyikan persaingan dan perseteruannya melalui pertunjukan tari Janger. Ini, secara ekplisit tampak dari gending-gending atau lakon yang dipergelarkan.
Saling ejek, saling sindir hingga saling menjelekkan melalui nyanyian, pantun, atau ungkapan verbal, tak jarang berakhir runyam. Lemparan batu ke arena panggung, sering membubarkan atau menyulut ketegangan sebuah pementasan “janger partai”. Para seniman yang berkesenian Janger di masing-masing kubu partai pun terpecah belah. Bahkan pelaku seni satu keluarga jadi retak dan tak akur disebabkan oleh saling berbeda partai dalam mejangeran. Berkesenian yang semestinya mereguk kedamaian, di tengah gerahnya gejolak kontestasi partai saat itu, justru mencederai kasih persaudaraan.
Rasa persaudaraan kian amburadul ketika kemudian di Jakarta meletus peristiwa yang kita kenal sebagai G30S/PKI, pada tengah malam menjelang pagi, 1965. Tragisnya dari akibat peristiwa kelam itu, tari Janger merana sebagai kesenian traumatik. Pementasan tari Janger hampir tak ditemukan lagi, hampir selama satu dekade. Kelompok truna-truni tak ada yang berani berlatih tari Janger di bale banjar.
Di tataran persada nasional, lagu Genjer-genjer juga dihubung-hubungkan sebagai milik PKI. Lagu berbahasa Osing yang juga sempat digunakan pementasan “Janger PKI” di Bali bahkan menderita stigmatisasi sampai berakhirnya Orde Baru.
Kekerasan dunia politik tanah air di sekitar peristiwa hitam kelabu tersebut, menorehkan sejarah bangsa yang sadis tak berperikeadaban. Di Bali, tari Janger, ikut atau diusung berhura-hura main api yang berakibat membakar dirinya sendiri. Sesungguhnya, bukan hanya para seniman dan seniwati tari Janger yang kecipratan bara panas dari petaka kemanusiaan itu, akan tetapi juga pegiat seni lainnya, di Bali dan di seluruh Indonesia. Para pekerja seni tanah air yang bersimpati atau bernaung dibawah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakjat) yang berapliansi dengan PKI, juga dirundung petaka dilucuti hak-hak hidupnya, dipenjara, hingga diasingkan bertahun-tahun tanpa ada proses pengadilan.
Sejarah menunjukkan, jagat seni dan dunia politik sering berdampingan. Namun kemesraan politik dan seni bagaikan kawin kontrak. Jika masih ada kepentingan, kontraknya diperpanjang. Sebaliknya apabila sudah tak butuh, kontrak pun putus. Sejarah mencatat, seni selalu berada dalam tekanan hegemoni politik. Politik yang sejatinya adalah medan meraih kekuasaan demi kemuliaan negara dan kemajuan bangsa, menjadikan jagat seni serta pelakunya sebagai estetisasi pemanis, ambisi dan bahkan legetimasi.
Belajar dari tragedi sepenggal perjalanan tari Janger tersebut, para seniman pelaku seni masa kini perlu merenungi Jas Merah-nya Bung Karno. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Ingatlah beringasnya perseteruan politik pernah mengaliri bumi pertiwi dengan darah manusia, pernah menjerumuskan jagat seni, dan pernah tidak berperikemanusiaan kepada insani penyemai keindahan seni serta pengawal kedamaian peradaban: para seniman kita.
Kadek Suartaya, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar