Tangkapan layar peta zona risiko penyebaran COVID-19 di Indonesia. (BP/iah)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia terus menunjukkan perbaikan signifikan. Bahkan dalam dua minggu terakhir ini, Indonesia nihil zona merah alias tidak ada satu provinsi pun yang masuk dalam kategori risiko tinggi penyebaran COVID-19.

Dalam analisis data COVID-19 Nasional yang dipantau Jumat (1/10), pada 1 minggu terakhir hingga 26 September, kabupaten/kota yang ada di zona merah tidak mengalami perubahan. Jumlahnya masih 0 sama dengan sepekan sebelumnya.

Perbaikan juga terlihat pada kabupaten/kota yang masuk kategori zona sedang atau orange. Dari seminggu sebelumnya berjumlah 31 menjadi 11 kabupaten/kota (2,14 persen) pada pekan ini. Zona kuning mengalami peningkatan kembali dari 481 menjadi 500 kabupaten/kota (97,28 persen). Sedangkan zona hijau atau kabupaten/kota yang nihil tambahan kasus mengalami kenaikan dari 2 menjadi 3 kabupaten/kota (0,58 persen). Untuk zona hijau yang sama sekali tidak terdampak masih tetap 0.

Dalam satu minggu terakhir ini, terjadi penurunan kasus sebesar 25,8 persen dari 23.250 dalam sepekan lalu menjadi 17.245 kasus dalam pekan ini. Hanya 3 provinsi yang mengalami kenaikan kasus, sedangkan 31 provinsi lainnya menurun. Tiga provinsi yang mengalami kenaikan kasus ini adalah Papua Barat naik 76,7 persen, Maluku naik 91,7 persen, dan Gorontalo naik 8,8 persen.

Sedangkan dari pasien meninggal atau angka kematian selama sepekan ini juga menunjukkan penurunan, sebesar 39,0 persen. Terdapat 4 provinsi yang mengalami kenaikan angka kematian tertinggi. Yaitu Kalimantan Utara naik 33,3 persen, Sumatera Barat 15,4 persen, Aceh 3,0 persen, dan Gorontalo naik 2 kasus.

Di sisi lain, angka kesembuhan juga mengalami penurunan jika dibandingkan pekan sebelumnya. Persentasenya mencapai 50,6 persen, yaitu dari 69.997 orang menjadi 34.566 orang pada pekan ini. Saat ini terdapat 31 provinsi yang memiliki kesembuhan di atas 90 persen dan kasus aktif kurang dari 10 persen. Bali termasuk di dalamnya.

Baca juga:  Dari Wagub Cok Ace Beber Alasan Dikeluarkannya Surat Edaran Soal PPDN hingga SE 2021 Disesuaikan!

Disikapi Bijak dan Hati-hati

Namun, menurunnya kasus COVID-19 selama 10 minggu berturut-turut, menurut Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Prof. Wiku Adisasmito, harus disikapi dengan bijak dan berhati-hati. Masyarakat diminta tidak gegabah melakukan kegiatan sosial-ekonomi harus dikedepankan meskipun berada dalam masa pelonggaran. Hal ini agar Indonesia dapat terhindar dari potensi ancaman lonjakan ketiga.

Ia dalam keterangan pers yang disiarkan di kanal YouTube BNPB Indonesia, Kamis, menekankan pentingnya belajar dari pola kenaikan kasus selama pandemi di Indonesia. Terlebih lagi, dengan adanya wacana diizinkan kegiatan besar, ditambah lagi sudah dekatnya periode Natal dan Tahun Baru 2022. “Berdasarkan pengalaman, kenaikan kasus hampir selalu terjadi pascakegiatan besar,” kata Wiku mengingatkan.

Jika dilihat dari pola kenaikan kasus, kasus mulai turun setelah pembatasan diberlakukan. Baik itu mobilitas maupun kegiatan sosial. Begitu kasus turun dan pembatasan mulai dilonggarkan, kasus akan meningkat perlahan. Hal ini juga menunjukkan upaya menjaga protokol kesehatan 3M belum maksimal dan belum dapat menjadi faktor utama penurunan kasus COVID-19.

Kebijakan pembatasan mobilitas dan aktivitas masyarakat masih menjadi faktor utama. Padahal pendekatan tersebut tidak dapat dilakukan terus-menerus karena akan berdampak pada sektor lainnya dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Disiplin protokol kesehatan menjadi upaya paling mudah dan murah yang bisa dilakukan.

Lebih lanjut, sebagai pembelajaran pertama, saat kenaikan kasus paska periode Idul Fitri tahun 2020. Meskipun saat itu diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan mudik ditiadakan, namun kasus tetap naik hingga 214 persen. Kenaikan mulai terjadi 2 minggu pasca Idul Fitri dan bertahan selama 7 minggu.

Baca juga:  KPU dan Lemhanas Sinergi Implementasikan Nilai Kebangsaan

Setelah itu, adanya kenaikan kasus lagi yang menjadi menjadi Puncak pertama COVID-19 di Indonesia. Terjadi dalam kurun November 2020 hingga Januari 2021. Kenaikan ini merupakan akumulasi dari event kolektif yang dimulai dari hari kemerdekaan 17 Agustus, Maulid Nabi pada 28 – 29oktober, periode Natal dan Tahun Baru 2021.

Puncak pertama ini terjadi akibat rentetan event besar yang tidak didukung kebijakan pembatasan yang sesuai. Dimana saat itu berlaku PSBB transisi, dan kasus naik sebesar 389 persen dan bertahan hingga 13 minggu. Setelah puncak pertama, kasus sempat menurun selama 15 minggu.

Namun selanjutnya Indonesia masuk pada puncak kedua dampak dari periode Idul Fitri 2021. Meskipun saat itu aturan peniadaan mudik telah diberlakukan. Meskipun peniadaan itu berhasil mencegah sebagian besar masyarakat untuk tidak mudik, namun kegiatan berkumpul bersama keluarga pada satu wilayah yang sama atau wilayah aglomerasi, tetap dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. “Hal ini terjadi karena masyarakat merasa aman dengan turunnya kasus COVID-19 selama 15 Minggu berturut-turut pasca lonjakan pertama,” lanjutnya.

Selain itu, adanya varian Delta yang menyebarluas di Indonesia, meningkatkan potensi penularannya dampak dari mobilitas yang tinggi pada periode ini. Sebagai akibatnya, kasus naik hingga 880 persen dan kenaikannya bertahan selama 8 minggu.

Namun, lonjakan kedua berlangsung lebih singkat selama 8 minggu daripada lonjakan kasus pertama yang bertahan selama 13 minggu. Hal ini terjadi karena kemampuan kesadaran dan respons kolektif antara seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah. “Lonjakan kasus kedua telah berhasil kita lewati dan saat ini kasus terus menurun selama 10 minggu terakhir,” imbuh Wiku.

Baca juga:  Presiden Tunjuk Budi Arie Setiadi Jadi Menlu Ad Interim

Pelajaran yang dapat diambil dari lonjakan kedua, Indonesia kehilangan banyak nyawa, produktivitas masyarakat dan tidak stabilnya ekonomi. Dan penting diingat, bahwa lonjakan kasus kedua mengakibatkan 2,5 juta orang positif terinfeksi COVID-19, dan 94.000 diantaranya dilaporkan meninggal dunia.

Lalu, angka positif mingguan tertinggi berada pada angka 30,72 persen atau 6 kali lipat dari standar yang ditetapkan oleh WHO. Terlebih pula kasus aktif mingguan sempat mencapai 24,21 persen. Hingga saat ini tercatat 900.000 orang yang sembuh. Pencapaian ini diraih dengan perjuangan berat mengingat persentase ketersediaan tempat tidur nasional sempat mencapai hampir 80 persen.

Kondisi lonjakan kedua mendorong diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan akhirnya mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Pada Kuartal ketiga 2021, pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 2 persen. Angka ini turun sekitar 5 persen dari pertumbuhan ekonomi pada Kuartal kedua yaitu 7,0 tujuh persen.

Untuk itu Indonesia perlu waspada potensi lonjakan ketiga yang dihadapi oleh berbagai negara didunia dan dengan melihat dari pola kenaikan kasus setelah even atau kegiatan besar di dalam negeri. Terlebih lagi, pembatasan mobilitas dan kegiatan sosial ekonomi yang mulai dilonggarkan perlahan menjadi kekuatan yang dapat berubah menjadi tantangan apabila tidak dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat. “Sekali lagi saya tekankan bahwa apapun upaya yang akan dilakukan jika pelaksanaan dan pengawasan protokol kesehatan tidak kuat, maka hal tersebut tidak akan berjalan dengan efektif,” tegasnya. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *