Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA

Memperhatikan peran sektor pertanian yang semakin tinggi dalam mendukung peningkatan perekonomian daerah, terlebih lagi pada situasi pandemik COVID-19, reorientasi kebijakan pembangunan perlu diarahkan pada penguatan sektor pertanian sebbagai suatu sistem. Berbagai komponen terdapat di dalam sistem pertanian itu, adalah petani dan kelembagaan petani, lahan usaha tani (sawah, kebun, kandang, kolam, pekarangan), proses produksi, pra-produksi, pasca-panen dan komponen di luar sektor pertanian (irigasi, transportasi, lembaga penyuluhan, lembaga penelitian, dan lain sebagainya).

Berbagai masalah dan tantangan telah dihadapi oleh para petani di Indonesia termasuk di Bali. Seperti, ketersediaan dan kualitas air irigasi, kompetisi air antara pertanian dengan non-pertanian, harga input pertanian yang relatif mahal, serangan hama dan penyakit, fluktuasi harga produk pertanian, dapat memberikan dampak pada kegagalan panen sehingga pendapatan petani menjadi sangat rendah.

Baca juga:  Mediasi Kembali Digelar, 3 dari 4 Permintaan Petani Disetujui Investor di Selasih

Kondisi ini selanjutnya memberikan dampak lanjutan,
di antaranya adalah daya beli petani dan keluarganya rendah, demotivasi petani untuk mengelola usaha taninya, keengganan generasi muda untuk bertani dan dampak-dampak lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi pertani guna mewujudkan kemandirian untuk semakin meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

Penyediaan sarana produksi dan prasarana serta sarana pertanian lainnya menjadi kebutuhan bagi petani untuk meningkatkan intensitas dan kualitas pengelolaan usahatani. Selain itu, diperlukan adanya perlindungan dan pemberdayaan petani yang intensif
untuk menghindarkan dan mengatasi gagal panen serta memberikan adanya kepastian usaha tani, seperti faktor harga produk dan input produksi.

Baca juga:  Petani Salak Mengungsi, Produsen Dodol di Besan Kesulitan Bahan Baku

Upaya-upaya tersebut di atas dapat diselenggarakan melalui pembentukan klinik pertanian secara lokal, misalnya di tingkat kecamatan dan memiliki sinergi dengan Balai Penyuluhan Pertanian yang memiliki keterbatasan tenaga.

Melalui klinik pertanian, para petani baik secara individual maupun kelompok dapat melakukan konsultasi terhadap masalah pertanian yang dihadapinya. Mereka bisa mendatangi klinik pertanian atau petugas pertanian yang langsung ke lokasi sesuai dengan permintaan petani/kelompok
petani.

Klinik pertanian yang dimaksudkan dapat melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan para petani di wilayahnya. Beberapa di antaranya adalah menyelenggarakan pendidikan non-formal bagi kelompok-kelompok petani atau subak dalam bentuk penyuluhan dan pelatihan baik di dalam kelas maupun di lapangan.

Materi yang disampaikan berupa informasi hasil-hasil penelitian yang sesuai dengan kebutuhan petani saat itu dan masalah serta tantangannya. Pendekatan
pembelajaran dalam penyuluhan dan pelatihan adalah partisipatif, dimana petugas klinik pertanian hanya berperan sebagai edukator, inisiator, motivator, fasilitator dan problem solver.

Baca juga:  Dewan Pertanyakan Besaran Alih Fungsi Lahan Pertanian

Selain penyuluhan dan pelatihan, klinik pertanian juga dapat melakukan kegiatan pendampingan dan pemberdayaan melalui kelompok-kelompok petani/subak. Guna mengoptimalkan penyelenggaraan kegiatan oleh klinik pertanian, dibutuhkan sumber daya manusia yang memadai yaitu memiliki kapasitas dan kompetensi sesuai dengan kondisi pertanian di setiap wilayah (kecamatan).

Penguatan kapasitas dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dapat dilakukan melalui ToT untuk berbagai aspek pertanian, seperti teknis (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, pengolahan, pemasaran, agribisnis dan aspek lainnya.

Penulis, Rektor Dwijendra University, Ketua HKTI Buleleng, Ketua Perhepi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *