Sejumlah seniman bincang seni dalam workshop ’’Seni Era Krisis dan Pasca Pandemi’’. (BP/istimewa)

GIANYAR, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 tak melemahkan semangat berkesenian para seniman. Terbukti, banyak aktivitas seni berlangsung pada masa pandemi.

Tentu, penerapan protokol kesehatan (prokes) tak pernah diabaikan, agar aktivitas seni tak menjadi kluster baru penyebaran virus Corona. Salah satu kegiatan seni di masa pandemi yang diprakarsai Performance Klub Bali adalah workshop/diskusi dan performance bertajuk ’’Seni Era Krisis dan Pasca Pandemi’’ yang digelar di TONYRAKA Gallery, Mas Ubud, Gianyar.

Dalam kegiatan yang berlangsung selama tiga hari, 1- 3 Oktober 2021 itu, selain digelar workshop dan diskusi seni, juga ada performance art. Ajang seni itu menampilkan guest artis, Iwan Wijono dari Yogyakarta dan sejumlah seniman Bali di antaranya I Kadek Dedy Sumantra Yasa, I Ketut Putrayasa, I Made Muliana (Bayak), I Gede Made Surya Darma dan lain-lain.

Baca juga:  Terdampak Pandemi, Investasi di Bali Terjun Bebas

Penggagas acara I Kadek Dedy Sumantra Yasa mengatakan, dalam masa pandemi ini wacana senirupa penting terus diperbincangkan agar muncul ide-ide segar dalam berkesenian. Kehadiran Iwan Wijono diharapkan mampu memantik kreativitas. ‘’Jadi, pandemi tak boleh melemahkan kreativitas berkesenian. Dalam kegiatan ini ada semacam kolaborasi yang mengupas seni melalui teori, praktik dan pementasan,” kata I Kadek Dedy Sumantra Yasa, Sabtu (2/10).

Sementara itu Iwan Wijono memaparkan materi sembilan point sakral seni kontekstual Nusantara. Dalam pengantarnya ia mengatakan, kondisi pandemi ‘’new normal’’ (ikuti protokol kesehatan dan kesadaran baru), mengandung pesan semesta untuk ‘’berkesadaran lebih’’. Yakni, memahami konteks diri bagian dari masyarakat dan alam, pembersihan diri ke dalam, memahami apa yang terjadi di luar, kemudian dunia baru seperti apa setelah pandemi atau paska pandemi.

Baca juga:  Ny. Putri Suastini Serahkan Kalung Om Kara

Dikatakan, mayoritas publik ingin segera kembali pada kondisi normal sebelum pandemi, padahal kondisi itu abnormal. Peradaban dijalankan dengan sistem mekanisme pasar yang eksploitatif, tanpa kesadaran keseimbangan hubungan antarmanusia, dengan alam, maupun dalam persepektif lebih luas sebagai hubungan seimbang dengan inti suci/holy soul.

Seni tradisi dikembangkan menjadi seni pariwisata, seni baru/kekinian atau biasa disebut seni kontemporer dan seni pop-trendy-global. Keduanya menjadi pasif ketika dunia sedang krisis dan mekanisme pasar berhenti.

Bagaimana berkarya seni kontekstual Nusantara masa krisis dan paskapandemi, dengan masyarakat mempunyai peradaban normal sewajarnya, memelihara keseimbangan hubungan manusia dengan segala elemen kehidupan.

Baca juga:  Setahun Pandemi, 80 Persen Hotel di Tabanan Tak Beroperasi

Kata Iwan, seniman tidak selalu dari latar belakang seni. Berkesenian tidak selalu harus menggunakan media seni dan tidak selalu harus ditampilkan dalam ruang seni. Keindahan bukan pada media dan teknis tetapi kepada peristiwa seni sebagai bagian kehidupan sehari-hari.

Wacana seni kontekstual Nusantara ini membahas hubungan dengan konteks pemikiran Beuys, terhubung dalam akar budaya Nusantara lampau yang ditarik dalam wacana kekinian. Seni di Nusantara dalam sejarahnya sebuah aktivitas transendental/multidimensional yang lebih mengutamakan laku, proses, peristiwa, dan dialog.

Maka keindahannya bukan pada kebendaan fisiknya. Suatu karya seni, menjadi kontekstual apabila mendukung kejelasan makna dan berhubungan dengan suatu kejadian. (Subrata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *