Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Menata Kawasan Besakih menjaga “Huluning Bali Rajya”. Headline Bali Post (17/9) tersebut bagai menegaskan pentingnya peran Besakih bagi Bali.

Apresiasi memang perlu diberikan kepada Gubernur Bali Wayan Koster dan Wakil Gubernur Bali Cok Ace yang telah mulai melakukan penataan kawasan suci Pura Agung Besakih. Pura Agung Besakih merupakan
tempat krama Bali melakukan upacara Bhatara Turun Kabeh, Usabha Dalem Puri, Panca Wali Krama, dan upacara lainnya bagi umat Hindu Bali.

Penataan ini secara sekala memberi manfaat ekonomi bagi warga sekitar. Sementara secara
niskala akan mengembalikan kesucian, keluhuran, dan kemuliaan Bali.

Sri Kesari Warmadewa selaku pendiri Dinasti Warmadewa telah menyiapkan Pura Agung Besakih sebagai pusat spiritual yang tertata sebagai titik poros mandala. Sebagaimana raja-raja Medang Kemulan menetapkan wilayah Prambanan sebagai poros mandala spiritualnya. Juga Borobudur yang merupakan pusat mandala bagi Buddha Mahayana.

Baca juga:  Guru, Teknologi dan Moralitas

Di sisi lain, Sri Kesari Warmadewa meneguhkan jejak kekuasaannya yang segara-gunung melalui prasasti Blanjong. Bagai beradab mendalam di pedalaman
dan berkebudayaan terbuka di pesisir.

Membangun poros mandala Pura Besakih di pedalaman Pulau Bali dan prasasti Blanjong di tepian pesisir pelabuhan kuno Sanur yang menjadi pintu dunia luar. Harus diakui bahwa sejak industri pariwisata menjadi lokomotif perekonomian Bali, Pura Agung Besakih lebih dikenal sebagai ikon wisata di Bali dibanding sebagai suatu kawasan suci pura.

Kondisi ini tentu dapat menimbulkan dampak adanya
dekonstruksi budaya Bali, selain memberi dampak positif bagi perekonomian Bali. Berbagai jejak budaya berupa pura, puri, dan karya budaya fisik krama Bali
lainnya merupakan tangible heritage yang tak ternilai.

Sementara wujud bahasa dan aksara Bali, maupun berbagai tradisi kesenian Bali merupakan intangible
heritage yang dapat menjadi culture capital (modal sosial budaya) besar dalam menjaga peradaban Bali.

Baca juga:  Penataan Besakih Harus Terorganisir

Kebudayaan Bali sebagai wujud sebuah peradaban, telah mewariskan cultural heritage bagi krama
Bali masa kini. Peradaban Bali akan terus tumbuh dan
berkembang seiring dengan dinamika zaman yang terjadi.

Kondisi ini harus dapat disikapi secara bijak oleh krama Bali masa kini sesuai konteks zamannya. Upaya menata kawasan suci Pura Agung Besakih merupakan salah satu upaya dalam menjaga budaya Bali agar marwahnya tidak tergerus zaman.

Paparan infiltrasi adat-budaya asing terhadap peradaban Bali adalah sebuah keniscayaan yang akan terus terjadi. Globalisasi adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi krama Bali.

Menjaga marwah budaya Bali adalah berarti menjaga jati diri krama Bali. Budaya Bali jelas termanifestasi dalam peradaban krama Bali yang antara lain berwujud tradisi leluhur yang telah berlangsung secara turun menurun.

Baca juga:  Penataan Pura Titigonggang, Pekerja Beberapa Kali Alami Kejadian "Niskala"

Sayangnya krama Bali seringkali tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki peradaban adiluhung bercita rasa tinggi. Hal ini terjadi karena budaya Bali sudah serba take it for granted sejak
mereka lahir.

Bali memiliki kekayaan living cultural heritage yang elok dan memesona. Peradaban Bali memang akan selalu mengalami pasang surut sesuai perubahan dan din￾amika zaman.

Diperlukan ketahanan dalam pribadi krama Bali agar peradaban Bali tidak terusik. Marwah peradaban
Bali harus selalu kita jaga agar tetap berada dalam bingkai filosofi keseimbangan Tri Hita Karana sebagai mindset keseharian kehidupan krama Bali.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. apa yg disampaikan perihal penataan besakih mungkin benar, namun jangan sampai sebenarnya ada maksud terselubung sehingga yg diutarakan menjadi semacam kamuflase dari tujuan segelintir orang yg hendak mendulang keuntungan dari pemugaran tsb. apalagi dg mengakomodir tempat yg nyaman bagi para turis unt menikmati besakih, maka sudah jelas tujuan tsb…apalagi umat yg sedang beryadnya dijadikan objek tontonan bagi mereka..pendirian besakih sejatinya tdk mengandung unsur tempat wisata, kecuali beryadnya bagi pemeluknya yg percaya, sedangkan wisatawan sama sekali tidak percaya, bahkan mungkin menghina hingga melehcehkan…
    masih sangat banyak hal hal yg perlu perhatian bila unt kelestarian budaya, adat dan kepercayaan, namun karena sifatnya kecil tdk menguntungkan baik sebagai proyek maupun bisnis, maka terabaikan.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *