I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Serupa dengan parpol yang acapkali memunculkan tandingan, kini giliran lembaga umat Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) mengalaminya. Seperti hendak berkompetisi merebut tahta kekuasaan yang selalu berujung kepentingan.

Tak ubahnya seperti adu ketangkasan di sirkuit motor GP, muncul organisasi yang menamakan dirinya Forum Komunikasi Hindu Nusantara tancap gas menyalip di tikungan tajam melalui apa yang namanya Musyawarah Luar Biasa (MLB), lalu memproklamirkan diri telah terbentuk kepengurusan PHDI periode 2021-2026. Bagaikan tersengat listrik tegangan tinggi, pengurus PHDI yang masih tetap eksis secara yuridis, melalui Ketua Umum Pengurus Harian segera menggelar press release yang intinya menyatakan MLB PHDI yang diadakan di Wantilan Pura Samuan Tiga Gianyar dinyatakan ilegal alias tidak sah, karena tidak sesuai AD/ART.

Tak disangka dan dinyana, “tradisi uyut” di kalangan “anak Bali” (Hindu) masih tetap menggumpal meski sudah berada pada era digital berbasis kemampuan intelektual yang kian mengental. Sejarah masa lalu selalu memberi pelajaran berharga, meski faktanya seringkali tak mau belajar dari nilai luhur sejarah.

Baca juga:  Menjawab Tantangan ‘’Kampus Merdeka’’

Begitulah secara periodik peristiwa perseteruan di
antara komponen masyarakat (umat) Hindu
dalam wadah organisasi apapun basisnya terulang kembali. PHDI sebagai lembaga mulia dan suci yang diamanatkan untuk menguatkan sradha dan meningkatkan bhakti umat pada tataran kerohanian (spiritual) justru terperosok pada urusan keduniawian — kepentingan praktis, pragmatis bernuansa politis.

Jika di tahun 1959 segenap komponen umat Hindu bertemu untuk bersatu membentuk suatu lembaga yang mengayomi sekaligus memperjuangkan kepentingan umat hingga kemudian melahirkan majelis tertinggi Parisada. Setelah itu berulangkali muncul riak gejolak sebagai penanda tetap ajegnya conflict of interest di kalangan organisasi umat Hindu.

Setidaknya pada tahun 2001 lembaga PHDI di Bali terbelah menjadi dua kepengurusan: versi Besakih yang diakui PHDI Pusat dan versi Campuhan dengan label baru PDHB (Parisada Dharma Hindu Bali) yang tidak diakui Pusat. Meski tidak terlihat frontal, tetapi
“gen” konflik tetap diterus-wariskan, hingga di bulan September 2021 bertempat di Wantilan Pura Samuan Tiga Gianyar secara tiba-tiba muncul klaim bahwa telah dilangsungkan Musyawarah Luar Biasa PHDI yang memang di luar dugaan sekaligus di luar kebiasaan berorganisasi berdasar AD/ART.

Baca juga:  Tolak Hare Khrisna, Forkom Taksu Bali Gelar Aksi Damai

Secara harfiah Parisada artinya perkumpulan dari orang-orang suci atau lembaganya orang suci atau yang disucikan. Sehingga pucuk pimpinannya dipegang oleh orang suci (Pandita) yang terstruktur dalam unsur Sabha Pandita. Secara operasional segala apapun yang dihasilkan dalam parum Sabha Pandita, berawal dari masukan lembaga pendamping (pangabih) yang disebut Sabha Walaka (kumpulan para ahli agama dan disiplin ilmu lainnya), untuk selanjutnya dilaksanakan Pengurus Harian sampai ke tingkat umat Hindu Indonesia sebagaimana diatur AD/ART PHDI.

Menurut Ida Pedanda Putra Telaga, salah satu pendiri Parisada dan mantan Ketua Umum Parisada Pusat pernah mengatakan bahwa sejatinya parisada itu bagaikan cincin emas permata yang melingkari jari tangan. Permata yang bercahaya adalah para pandita, emas yang menyangga permata adalah para walaka, keduanya sebagai satu kesatuan yang harmonis
dan sinergis.

Baca juga:  MMDP dan PHDI Buleleng Tidak Setuju Tajen Diatur dalam Perda

Jadi sebenarnya tidak ada wacana apalagi parikrama (tindakan) atau parilaksana (perilaku) dalam tubuh Parisada yang mengarah pada perseteruan beraroma satru (permusuhan) lalu berubah menjadi perpecahan.
Menjadi tugas mulia bagi siapapun yang berada dalam struktur kepengurusan Parisada untuk menjaga citra sucinya bersemangatkan bhakti untuk tujuan mayadnya: ngayah sebagai wujud sembah demi tetap tegaknya dharma.

Demikian nasihat Sang Rama kepada Wibhisana, bagaimana seharusnya menjadi abdi, giat melakukan kewajiban untuk kesejahteraan rakyat (umat) tanpa ikatan nafsu (kepentingan) mendapatkan kekayaan, kedudukan (jabatan), sanjungan ataupun kenikmatan hidup. Ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi pengurus Parisada untuk senantiasa melakukan parisudha agar berlandaskan pada kesucian pikiran (manacika), perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika) lembaga PHDI kembali menjadi mulia dan suci.

Penulis, Dosen UNHI dan Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *