Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Perkembangan teknologi yang super cepat dan maju banyak membuat generasi muda mengalami degradasi moral seperti mudah tersulut informasi yang keliru (hoaks), kurang menggunakan akal sehat dalam menalar informasi sebelum beraksi, dan kurang menghargai perbedaan, yang kemudian menjadikan mereka berpaham rasisme dan berujung pada radikalisme.
Filsuf terkenal Rene Descartes menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas (finite) yang diciptakan oleh yang tidak terbatas (infinite). Dengan keterbatasannya tersebut, manusia harusnya terus mengasah diri belajar. Belajar sepanjang hayat (life long education) dilakukan untuk meninggikan martabat kemanusiaannya dan menjadikan dirinya berguna selama hidupnya yang terbatas ini.
Meninggikan martabat selama hidup dapat dilakukan hanya melalui pendidikan. Ada tiga jalur pendidikan yang mesti dilalui manusia dalam kehidupannya, yaitu informal, formal, dan nonformal. Pembelajaran informal berlangsung di keluarga. Pembelajaran ini adalah pembelajaran pertama dan utama yang menjadi dasar atau fondasi pada pembelajaran tahap berikutnya.
Nilai-nilai karakter peserta didik banyak dibawa dari rumah, karena tugas guru di lembaga formal lebih menekankan pada pengembangan kompetensi intelektual (kecerdasan) dan keterampilan. Tentu tanpa mengenyampingkan nilai karakter sebagai bagian dari domain afektif.
Selanjutnya, pembelajaran non formal, yang kita dapatkan dari lingkungan sekitar bisa berbentuk pengayaan berupa pengetahuan dan keterampilan yang tidak didapat di bangku sekolah, dan nilai-nilai karakter seperti kemampuan berhubungan dengan orang lain sebagai bagaian dari masyarakat. Ketiga pusat pendidikan ini terus akan berlangsung sepanjang masa yang akan menentukan kesuksesan atau kegagalan kehidupan seseorang.
Dari ketiga pusat pendidikan tersebut, dimensi nilai-nilai karakter merupakan dimensi yang paling penting. Justru dalam pendidikan abad ke-21 yang menjadikan seseorang sukses dalam hidupnya bukanlah kepintaran, namun karakter. Salah satu karakter yang paling penting di abad-21 adalah kejujuran.
Menjadi jujur sebenarnya gampang dan sederhana, melalui berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar. Berpikir baik dan benar akan diejawantahkan melalui berkata yang baik dan benar, yang kemudian diikuti dengan kinerja yang baik dan benar. Kinerja yang baik dan benar ini dapat dibuktikan dari perilaku yang baik dan benar serta kreasi yang baik dan benar pula.
Belakangan kita banyak disuguhi tontonan (sebagai bagian dari kreasi manusia) yang kurang atau tidak benar atau bahkan sengaja memlintirnya seolah benar tetapi sesungguhnya tidak benar (hoaks). Di banyak tontonan sering terlihat mereka mengatasnamakan diri orang yang beragama, namun menggunakan kata-kata yang kasar dan kurang elok untuk merendahkan martabat ataupun agama umat lain.
Tak tanggung-tanggung dengan pangkat akademik yang tinggi atau mantan pejabat tinggi, tak merasa malu mencari-cari alasan untuk menegativasi seseorang atau agama lainnya, bahkan mengkambinghitamkan orang lain atas kesalahannya atau kelemahannya sendiri.
Nilai-nilai karakter diperkenalkan dan diajarkan via ajaran agama. Semua agama mengajarkan kebaikan. Semua agama mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan tidak membeda-bedakan manusia. Tidak ada satu pun agama mengajarkan saling membenci apalagi saling membunuh. Namun, ada juga orang-orang yang berani membenci atau membunuh dengan mengatasnamakan agama (Tuhan). Dalam hal ini manusia sudah sangat keterlaluan tidak memahami esensinya sebagai makhluk yang terbatas, berani memikirkan dan berperilaku buruk atas ijin Tuhan, padahal Tuhan tidak pernah mengizinkannya secara kasat mata.
Oleh karena semua agama mengajarkan kebaikan atau moralitas, maka itu berarti semua agama adalah benar bagi pemeluknya. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban semua dari kita untuk menghormati dan menghargai perbedaan agama yang dipeluk oleh tiap individu yang berbeda. Tidak lah etis menjelek-jelekkan dan merendahkan agama lain demi untuk meninggikan agama sendiri. Tentu Tuhan yang tidak terbatas tersebut, yang menciptakan perbedaan itu semua di bumi, tidak akan senang bila umat manusia yang mereka ciptakan saling membenci dan membunuh dengan mengatasnamakan diri-Nya.
Kepintaran yang dimiliki manusia dari sebuah proses belajar mestinya diikuti dengan kebijaksanaan dalam mengamalkan ilmu tersebut dengan cara-cara baik untuk menjadikan orang lain baik, sehingga berdampak pada diri sendiri yang juga baik.
Mengetahui bahwa hidup ini terbatas, sudah selayaknya manusia lebih mengutamakan kejujuran berpikir, berkata, dan berbuat kebaikan dan kebenaran sebagai bagian pertanggungjawaban kita kepada yang tak terbatas.
Penulis, Guru besar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Undiksha