Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Salah satu kriteria penting yang perlu dimiliki para politikus dan wakil rakyat yaitu bagaimana mereka mampu mendengar dan merasakan penderitaan rakyat. Tes dan pendidikan empati seyogianya menjadi bagian yang mungkin perlu dijalani oleh para politikus dan calon wakil rakyat di Republik tercinta kita ini.

Tidak jarang, apa yang dilakukan figur elite politik kita tak sejalan dengan apa yang diharapkan masyarakat kebanyakan. Mungkin kita pernah beberapa kali
mendengar bagaimana di tengah kesulitan hidup
yang dilakoni sebagian besar masyarakat kita,
sekelompok politikus, yang kebetulan telah terpilih menjadi wakil rakyat, justru meminta tambahan fasilitas atau gaji yang lebih menggiurkan.

Contoh lain, beberapa waktu lalu, saat rakyat
tengah dibelit berbagai kesulitan akibat pandemi
corona (Covid-19) berkepanjangan, sejumlah elite
politik kita malah ramai-ramai “berpesta baliho”
di ruang-ruang publik kita. Secara umum, empati adalah kemampuan untuk memahami secara emosional apa yang orang lain rasakan, seraya berusaha melihat sesuatu dari sudut pandang mereka, dan membayangkan diri kita sendiri di posisi mereka.

Baca juga:  G20 di Bali, Peluang dan Tantangan ke Depan

Singkatnya, empati adalah bagaimana kita
menempatkan diri kita pada posisi orang lain dan sekaligus merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan. Mereka yang tidak mampu menempatkan diri pada posisi orang lain dan juga tidak mampu merasakan apa yang dialami orang lain bisa dianggap sebagai kurang empati.

Ketika kita melihat seseorang tengah menderita, kita mungkin dapat langsung membayangkan diri kita sedang mengalami seperti orang tersebut. Kemampuan untuk berempati memungkinkan kita mampu memahami emosi yang dirasakan orang lain.

Adalah wajar dan manusiawi setiap kali orang
mengalami penderitaan, kesulitan, atau masalah, ia menginginkan orang lain memahami apa yang
mereka alami. Akan tetapi, dalam kehidupan modern sekarang ini, di mana persaingan di hampir semua bidang kehidupan begitu sengit, empati kerap terpinggirkan. Orang-orang kini lebih disibukkan dengan kepentingannya masing-masing.

Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama, dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan bahwa defisit terbesar yang kita miliki dalam masyarakat kita dan dunia dewasa ini adalah defisit empati. Menurut Obama, saat ini kita membutuhkan orang-orang yang dapat berdiri di atas “sepatu” orang lain dan mampu melihat dunia melalui
kacamata orang lain pula.

Baca juga:  Mitigasi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas

Menebalkan Empati

Sejatinya, setiap individu memiliki kecenderungan egoistik. Ia cenderung akan lebih mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Dengan
berupaya menebalkan sisi empati, kita berupaya menjauhkah egoisme yang ada dalam diri kita sehingga kita akan lebih mampu berempati pada orang lain.

Dengan begitu, kita kemudian lebih dapat membangun hubungan sosial yang lebih harmonis dengan orang lain dan juga mampu merespons secara tepat apa yang sedang dirasakan dan dialami orang lain. Level empati seseorang sesungguhnya dapat
dipetakan lewat serangkaian tes, yang dinamakan
tes empati.

Di sejumlah negara, tes empati — bersama tes integritas — telah lazim digunakan untuk menyaring calon-calon pejabat atau calon pemimpin sebelum mereka diberi tanggung jawab sebuah jabatan/posisi tertentu. Untuk makin menguatkan empati yang dimiliki para politikus maupun wakil rakyat, tak ada
salahnya jika diselenggarakan pula pendidikan/
pelatihan empati buat mereka.

Baca juga:  Pemanfaatan Teknologi dan Pengembangan Sikap Empati

Menurut Katherine Teh, direktur dari Future
Eye, lembaga konsultan politik yang berbasis di
Melbourne, Australia, yang kerap menyelenggarakan pelatihan empati untuk para politikus di Negeri Kangguru itu, pendidikan empati untuk politikus adalah salah satu cara untuk menghentikan para politikus berperilaku kurang elok.

Parpol tentu saja dapat menginisiasi penyelenggaraan pendidikan empati ini secara rutin untuk para kadernya. Dengan dibekali pendidikan empati, para kader parpol diharapkan bakal lebih mampu menangkap suara rakyat sehingga mereka lebih mampu pula menyerap aspirasi dan kehendak rakyat.

Dengan demikian, pada saat mereka mengambil keputusan maupun tindakan politik, khususnya ketika para kader parpol itu diberi amanah menempati jabatan-jabatan penting dan strategis, keputusan dan tindakan mereka benar￾benar merepresentasikan aspirasi, kehendak dan kepentingan rakyat. Bukan merepresentasikan aspirasi, kehendak dan kepentingan diri mereka maupun aspirasi, kehendak dan kepentingan kelompok mereka.

Penulis, Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *