IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Bagaimanapun pariwisata tergantung pada pemberitaan. Sebagai destinasi pariwisata internasional, Bali tergantung pada pemberitaan tingkat dunia.

Salah satu berita terbaru berjudul “Indonesia Covid: Slow start as Bali re-opens to foreign tourists” (14/10/2021). Pemberitaan ini pada dasarnya positif dan bisa diambil jadi sandaran bagi pembuat kebijakan maupun pelaku industri pariwisata.

Pertama, diberitakan bahwa ketika Indonesia pernah menjadi episentrum Covid-19 di Asia, kini jumlah kasus per hari terus melandai secara signifikan. Di Bali sendiri, sebagai destinasi pariwisata yang harus diakses melewati jalur laut atau udara, sehingga
pengawasan dan pengendalian lebih mudah—tingkat vaksinasi telah mencapai lebih dari 82 persen, yakni
menjadi salah provinsi dengan tingkat ketercapaian angka vaksinasi tertinggi. Ini mengindikasikan bahwa terciptanya herd immunity sebagai prasyarat bagi interaksi fisik-sosial yang diperlukan dalam pariwisata menjadi lebih mungkin.

Jika tak ada rintangan yang berat, target yang dipatok pelaku industri pariwisata pada 2019 sebanyak 6 juta bukan tidak mungkin akan tercapai. Kuncinya, dalam hal ini adalah keyakinan dan kerja keras semua pihak yang sepaham dan bersinergi.

Kedua, dan di sinilah tantangannya, ada perkara pengambilan kebijakan yang tidak saja baik tetapi juga harus tepat oleh pemerintah. Sampai opini ini ditulis, masih ada kebijakan bahwa pengunjung
yang tiba di Bali wajib berkarantina di hotel selama lima hari.

Baca juga:  Literasi Olahraga Kesehatan

Secara awam, mudah saja kita mengatakan bahwa kebijakan ini baik. Sebab karantina adalah salah satu cara untuk memastikan penularan Covid-19 dari luar Bali tidak terjadi. Namun niat baik ini belum tentu tepat.

Dalam hal ini perlu pertimbangan yang lebih praksis sekaligus saintifis. Mari kita melihat apa yang dilakukan Thailand dan Vietnam sebagai pesaing dalam pariwisata di kawasan Asia Tenggara.

Pulau Phuket telah dibuka sejak awal tahun 2021 bagi pengunjung yang sudah divaksinasi penuh, dan per 1 November 2021, pengunjung dari negara-negara tertentu tidak perlu lagi mengikuti karantina. Demikian pula dengan Pulau Phu Quoc di Vietnam. Kunjungan wisatawan akan mulai dibuka penuh bagi mereka yang sudah divaksinasi lengkap.

Kembali pada soal “baik dan tepat”, baik dalam hal ini terkait dengan pertimbangan antisipatif yang umum yang didasarkan pada ragam kemungkinan yang buruk. Sehingga diungkapkan misalnya “baik untuk menghindari dampak yang luas”.

Namun baik saja tidaklah cukup. Kita juga harus berpikir tentang “tepat” yang terkait dengan presisi. Di sini menjadi wajib menggunakan ukuran-ukuran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Langkah-langkah karantina, tes Covid-19, dan vaksinasi terlahir dari olah ilmu pengetahuan. Dalam konteks pariwisata, tes dan vaksinasi lebih mudah dan mungkin diterapkan.

Tes bisa dilakukan pada waktu kedatangan dan vaksinasi sudah menjadi kewajiban di setiap negara atau wilayah asal calon pengunjung. Namun untuk karantina, pengunjung harus menimbang waktu–dalam hal ini durasi waktu liburan mereka–serta biaya tambahan di sepanjang waktu karantina.

Baca juga:  Menjaga Marwah Kemerdekaan Indonesia

Alhasil, dalam hal ini, para pembuat kebijakan, baik di Provinsi Bali maupun pemerintah Indonesia, harus melakukan perhitungan-perhitungan yang saksama.
Karena memang baru dibuka, tentu saja masih perlu penyesuaian. Tidak baik juga jika terus atau mengulang-ulang ungkapan “masih lesu” atau “tetap lesu” serta ungkapan lain yang bernada negatif.

Mari gunakan saja lawan katanya, yakni “gairah pariwisata” atau “menggairahkan ekonomi” dan lain sebagainya. Untuk tujuan menggairahkan ini, kinilah
saatnya bagi segenap pihak untuk berinvestasi lebih lanjut dalam bentuk promosi dan pemberian insentif.

Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa tingkat popularitas dan kedisukaan pariwisata Bali tak perlu diragukan lagi. Adalah faktor kedikunjungan (visitability) yang
menjadi tantangan

Dalam industri pariwisata, kita tahu, keberadaaan dan ketersampaian informasi adalah salah satu aspek paling penting. Meskipun sudah dibuka pada Kamis, 14 Oktober 2021, misalnya, apakah para calon wisatawan dari negara-negara yang diberi lampu hijau
sudah well-informed? Ataukah, jangan-jangan, kita lebih pada sikap pasif menunggu?

Jika itu yang terjadi, bagaimana kita berharap akan ada kunjungan? Oleh karena itu, baik pemerintah maupun pelaku industri pariwisata wajib menggunakan semua jalur promosi, terutama secara online dengan memanfaatkan semaksimal mungkin
teknologi informasi.

Baca juga:  Pendidikan dan Resiliensi Ekonomi

Ini bukan saatnya duduk manis menunggu pengunjung namun kemudian terjebak menyalahkan situasi.

Investasi kedua terkait dengan accessibility. Seperti dibahas di atas, wisatawan yang sudah divaksinasi penuh dan bersedia mengikuti tes dan karantina (jika diputuskan belum akan dihapuskan) boleh dikatakan bisa mengakses atau masuk berkunjung ke Bali. Namun bagaimana dengan mereka yang kesulitan atau keberatan dengan karantina, misalnya, karena soal waktu atau keterbatasan biaya?

Jika “investasi risiko” seperti pelonggaran karantina tidak berani diambil, maka investasi berupa insentif-insentif bukanlah sesuatu yang buruk. Dalam waktu kunjungan yang menjadi lebih pendek karena karantina umpamanya, kuantitas dan kualitas destinasi dan layanan bisa dinaikkan.

Dengan kata lain, aspek customer excellence wajib diperkuat dan untuk itu investasi dari pemerintah maupun pelaku industri pariwisata wajib dikeluarkan. Terakhir, investasi yang bersifat jamak bisa dilakukan.

Seiring-sejalan dengan investasi untuk promosi dan insentif demi customer excellence di destinasi pariwisata dan fasilitas pendukungnya, pemerintah wajib juga memberi insentif terkait keringanan transportasi bagi calon pengunjung, keringanan pajak sementara bagi pengusaha dan cara-cara lainnya.

Penulis Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan anggota serta Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *