I Nyoman Rutha Ady. (BP/Istimewa)

Oleh Nyoman Rutha Ady, S.H, M.H

Dahsyatnya ledakan bom di jantung pariwisata Bali di Jalan Legian Kuta, Sabtu malam 12 Oktober 2002 menjadi mimpi buruk sektor pariwisata yang sedang sumringah ketika itu. Pascabom Bali I tersebut banyak narasi miring yang menyebutkan Bali akan kehilangan sumber devisa primadonanyabdan disarankan menggenjot sektor pertanian sebagai pengganti pariwisata.

Tetapi faktanya, tidak perlu waktu satu tahun, program Bali Recovery (pemulihan pariwisata Bali) berhasil mematahkan pendapat yang mengatakan pariwisata
Bali akan habis. Beberapa negara memang sempat
memberlakukan travel warning.

Tetapi aparat keamanan dan pemerintah akhirnya mampu menangkap dan memproses secara hukum teroris tersebut. Hal ini membuat citra keamanan Bali
semakin positif dan kepercayaan dunia berangsur
pulih. Bali akhirnya bangkit kembali.

Kini, pariwisata Bali kembali dihajar pandemi COVID-19. Hampir dua tahun terakhir pemberitaan media mainstream dan media sosial di seluruh dunia fokus pada meluasnya penyebaran COVID-19 yang melumpuhkan berbagai aktivitas keseharian
penduduk.

Pariwisata yang menghandalkan mobilitas atau pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya menjadi sektor paling terdampak akibat meluasnya penyebaran pandemi COVID-19. Sudah satu setengah tahun Bali kehilangan devisa
dari sektor pariwisata.

Baca juga:  Bali Ajukan 4 Program Ini untuk Pemulihan Pariwisata

Inilah beda dampak Bom Bali I dengan serangan
pandemi COVID-19, terhadap sekor pariwisata di
Bali. Pariwisata memang sangat rentan terhadap
isu-isu keamanan dan kesehatan. Tetapi penyebaran pandemi yang menyerang aspek kesehatan manusia berbeda dengan serangan Bom Bali 12 Oktober.

COVID-19 selain secara fisik tidak bisa diketahui wujudnya, penyebarannya sangat cepat dan meluas keseluruh dunia. Sedangkan teror bom walaupun juga mematikan tetapi wilayah terdampaknya bersifat lokal sehingga upaya pemulihannya lebih mudah dan relatif cepat.

Angin segar berhembus ketika pemerintah menjanjikan pertengahan bulan ini Bandara Ngurah
Rai akan dibuka untuk penerbangan internasional.
Bali wajib menyediakan akomodasi untuk tempat
karantina bagi warga negara asing yang datang ke
Bali langsung dari luar negeri.

Betapapun masih kecilnya peluan mendatangkan wisatawan asing ke Bali, pemerintah telah menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh untuk membantu pemulihan pariwisata Bali. Memang keterpurukan pariwisata akibat teror bom dan pandemi COVID-19 tidak bisa disamakan.

Baca juga:  Inklusi Keuangan BPR Saat Pandemi

Pascabom di Jalan Legian Kuta 2002 dengan radius kerusakan fisik yang parah dan korban jiwa ratusan orang meningggal serta cacat seumur hidup, tidak menyurutkan niat wisatawan asing datang ke Bali. Namun demikian, ketakutan terhadap ancaman bom tidak setinggi ketakutan akan terpapar COVID-19.

Fakta empiris menunjukkan korban akibat terpapar COVID-19 sejak diketahui pandemi itu menyebar hingga saat ini menunjukkan reaksi ancamannya terhadap nyawa manusia sangat fatal dan begitu cepat. Sehingga hampir semua negara di dunia menerapkan kebijakan lockdown (tutup pintu) bagi lalu lintas orang-orang yang mau masuk ke negaranya maupun mereka yang ingin keluar dari negaranya.

Negara-negara yang masih menerapkan lockdown tentu belum termasuk dalam daftar negara yang diizinkan melakukan penerbangan langsung ke Bali. Ini akan menjadi catatan sejarah kepariwisataan dunia ketika hampir dua tahun para wisatawan tidak bisa bebas lagi melakukan perjalanan untuk mengisi waktu libur mereka sebagaimana kondisi sebelum meluasnya penyebaran pandemi COVID-19.

Baca juga:  "Recovery Rate" Penumpang di Bandara Ngurah Rai Hampir 90 Persen

Industri pariwisata sedang mengalami masalah serius dan berpengaruh bukan hanya terhadap pelaku dan industri pariwisata semata, melainkan berdampak sangat luas terhadap perkembangan ekonomi global.
Dalam konteks Bali, harapan akan pulihnya sektor pariwisata tetap masih memiliki peluang meskipun memerlukan banyak pengorbanan.

Sepanjang masyarakat masih tetap melakukan perjalanan dekat atau jauh, selama itu pula pariwisata
akan hidup dan berkembang. Diperlukan jiwa besar serta sikap dewasa dalam bertindak antara kalangan industri, pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan kembali era sumringahnya sektor padat modal dan padat karya ini melalui kebersamaan langkah.

Disiplin menerapkan protokol kesehatan, menjaga imunitas tubuh serta selalu berpikir positif dan
bersyukur. Kemampuan manusia memang ada
batasnya tetapi keterbatasan itu tidak seharusnya
menimbulkan kepasrahan apalagi depresi. Karena
ditengah ancaman pandemi COVID-19, aspek paling penting adalah merawat kesehatan agar tetap
bugar dan bergairah.

Penulis, pemerhati masalah pariwisata dan
sosial, tinggal di Legian Kuta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *