Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Kemajuan dunia informasi, komunikasi dan teknologi semakin masif, sehingga tak sedikit media yang bermunculan, salah satunya koran. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, koran adalah lembaran kertas bertuliskan kabar (berita) yang terbagi dalam kolom-kolom yang terbit setiap hari atau secara periodik.

Koran juga dalam kategori media cetak. Banyak kalangan menilai, koran telah menjadi sumber ilmu alternatif dan pusat baru pengetahuan, keterampilan bahkan sikap. Diaku atau tidak, koran turut memengaruhi peta kehidupan masyarakat kita.

Di koran itu segala ada. Mau belajar tentang ekononi, matematika, sejarah, IPA, agama, kebudayaan bisa kita punguti dari lembaran-lembaran koran. Koran juga
bisa menjadi penyelamat anak-anak kost yang
transfer uang dari orangtua terlambat, mereka
bisa mengirim karya tulisannya ke koran untuk
menyambung hidup.

Pada saat koran hanya menjadi limbah pun, ia bisa memberi daya hidup bagi para pemulung dan pegiat sampah. Jika kemudian sekarang, ada guru atau dosen yang hanya menjadikan dirinya satu-satunya
sumber belajar itu salah, dan menjadikan buku
modul maupun buku teks sebagai berhala baru
pengetahuan itu juga keliru.

Baca juga:  Kreatif, Siswa SMPN 3 Bangli Buat Barong dari Koran

Banyak sumber belajar lain yang tercecer di luar sana. Sumber belajar itu salah satunya bermuasal dari koran, termasuk koran Bali Post.

Salah satu nilai praksis koran, seperti pemberitaan maupun artikel yang menuangkan kasus korupsi. Di sini anak-anak ini bisa diajak bedah kasus topik tersebut.

Hal ini sekurangnya akan menajamkan pembumian
nilai moral, karakter dan perilaku anak untuk tidak rakus, tamak dan melatih mereka mendaki gunung kebajikan di tengah jantung kemurungan atas keringnya nilai kebangsaan dengan masifnya praktik korupsi, gratifikasi dan pungli, misalnya.

Ini menjadi penting dalam praktik pembelajaran kontekstual. Koran berfungsi sebagai media informasi dan sarana edukasi bagi masyarakat. Media ini menjadi pusat data bagi pembaca agar mereka dapat mencari berita maupun hal lainnya (Puspaningrum, 2010).

Kontekstual

Jadi, bagaimana dalam belajar, anak tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan tempat belajar, waktu, situasi dan suasana alam dan masyarakatnya. Untuk itu, metode yang dianggap tepat untuk mengembangkan pembelajaran adalah pembelajaran kontekstual.

Baca juga:  Wisata Medis dan Penyelamatan Devisa

Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa
menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar siswa dapat memecahkan masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan secara genial (riang dan berani).

Apa yang dibilang guru, apa yang ditulis buku modul dan apa yang dirangkum dalam buku LKS itulah kualitas anak-anak kita. Tak lebih. Akan lain, jika guru mampu menghadirkan sumber ilmu baru dari segala penjuru mata angin, termasuk koran.

Konten koran yang pasti bisa menambah wawasan untuk mengetahui fenomena-fenomena yang sedang terjadi di aras domestik dan luar negeri. Apalagi bahasa koran itu mudah dipahami, maka anak bisa
mendiskusikan dengan teman sebaya dan belajar
menemukan solusi atas masalah yang diangkat.

Itulah kemudian, penggunaan koran akan
memberikan beberapa dampak konstruktif, yaitu
mengembalikan otoritas dan martabat sang guru,
punya kebebasan berekpresi dan bereksperimen
dengan kemampuannya, serta terlepas dari belenggu buku paket. Kemudian, membudayakan
pengajaran multisarana dan multiarah serta
meningkatkan minat baca anak.

Baca juga:  Investasi Infrastruktur Kebudayaan Bali

Minat baca ini akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran saja.
Dilansir balipost.com (18/6/2019), Indonesia
menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan
dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program
for International Student Assessment (PISA) yang
di rilis Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) pada 2019. Budaya
baca akan mekar bersamaan teladan dari guru
dan civitas sekolah lainnya.

Jauh akan lebih bermekaran kala, guru bisa memberi contoh praksis tulisan di koran dari karyanya maupun produk kawan sekolahnya. Jika kemudian, muncul aneka media virtual, termasuk koran online itu hanya
lingkaran-lingkaran pilihan sebagaimana Alvin
Toffler (1981) dalam The Third Wave.

Penulis, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan
Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *