DENPASAR, BALIPOST.com – Umat Hindu merayakan hari suci Kuningan, Sabtu (20/11), setelah sepuluh hari sebelumnya merayakan Galungan. Hari Raya Kuningan ini hendaknya dijadikan momentum untuk mensyukuri hidup dan lebih mawas diri lagi menghadapi pandemi COVID-19.
Pandemi belum berakhir. Karena itu disiplin menerapkan protokol kesehatan (prokes) tiga M—mamakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, mesti tetap dilakukan. Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Wayan Budi Utama mengatakan, menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan)–yang disimbolkan dalam perayaan Galungan dan Kuningan, bukan berarti tantangan hidup sudah berakhir.
Perjuangan untuk melawan tantangan hidup tidak pernah berakhir. Terlebih saat ini umat dihadapkan pada pandemic COVID-19, kewaspadaan mesti lebih ditingkatkan. “Perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan mesti dimaknai sebagai pengingat kepada umat manusia agar selalu lebih waspada dalam menjalani hidup dan menghadapi segala tantangan hidup. Caranya adalah dengan menjaga diri dalam pikiran, perkataan dan perilaku atau perbuatan. Dalam konteks menghadapi COVID-19, ikuti peraturan dalam upaya mencegah penularannya dan terus berdoa agar tetap dilindungi Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Mahakuasa,’” ujar Budi Utama, Jumat (19/11).
Sementara itu akademisi dari Universitas Hindu Negeri Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof. Dr. I Nengah Duija mengatakan, Galungan dan Kuningan bukan sekadar ritual rutin umat Hindu setiap enam bulan sekali atau 210 hari. Tetapi setiap perayaan Galungan dan Kuningan umat Hindu diingatkan kembali seberapa jauh capaian spiritualitas telah dilakukan, yang terimplementasi pada hubungan vertikal dan horizontal.
Yakni, pada hubungan manusia dengan sang pencipta, apakah keyakinannya semakin kokoh. Kemudian hubungan manusia dengan sesama manusia, apakah semakin rukun, semakin berempati, jaringan sosialnya semakin meningkat, pasidikaraan semakin terpupuk, dan kepercayaan atau trust semakin baik. Kemudian hubungan manusia dengan lingkungan, baik lingkungan alam dan sosial, apakah semakin baik dan sebagainya.
Mantan Rektor IHDN Denpasar ini menambahkan, manusia sebagai insan Tuhan tidak sekadar kontestasi sosio-religio dengan kemeriahan perayaan, tetapi aspek ketuhanan dari manusia adalah jiwa mahàrddhika yakni manusia selalu berjiwa besar dalam kondisi apapun atau mahàrddhika. Terlebih kondisi bangsa ini sedang mengalami pancabhaya yakni musibah tanah longsor (pretiwi), musibah banjir (apah), musibah kebakaran (teja), musibah angin puting beliung (bayu), dan musibah cuaca ekstrem (akasa).
Di samping itu saat ini umat sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19 yang menurut lontar Roga Sanghàra Bhùmi sebagai gering, sasab, dan mrana. Gering menimpa manusia, sasab menimpa hewan, dan mrana menimpa tumbuhan. Menghadapi COVID-19, tentu prokes adalah senjatanya, di samping vaksinasi. “Itulah tantangan umat Hindu saat ini. Mari internalisasi nilai dharma dalam bathin atau membhatinkan nilai ketuhanan dalam diri,’’ pungkasnya. (Subrata/balipost)