I Gde Pitana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gde Pitana

Setelah ditutup hampir dua tahun, akhirnya secara resmi pemerintah membuka Bali untuk kunjungan wisata, sejak 14 Oktober 2021. Namun setelah lebih dari sebulan, belum ada juga wisman yang datang, dan penerbangan dari luar negeri ke Bandara Ngurah Rai masih nihil.

Mengapa? Pertanyaan tersebut banyak dipertanyakan kepada saya dalam berbagai forum, maupun disampaikan oleh netizen di media sosial. Sekitar 97 persen wisman datang ke Bali melalui jembatan udara, dan hanya sekitar 3 persen yang lewat laut.

Maka jembatan udara merupakan penghubung yang sangat vital dalam pemulihan pariwisata Bali. Sayangnya, untuk membuka kembali (reopening) rute pesawat dari luar negeri ke Bali bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak bisa bim-salabim.

Diperlukan izin penerbangan dengan berbagai persyaratannya, termasuk adanya prinsip resiprokal. Yang juga tidak kalah pentingnya, tentu airline tidak mau terbang kalau tidak ada penumpang.

Untuk mendapatkan penumpang, diperlukan adanya promosi. Semua itu memerlukan waktu. Apalagi dalam situasi semua negara pasar mengalami kontraksi ekonomi, maka daya beli masyarakatnya juga terbatas.

Baca juga:  Terima PPLN Pertama di Bali, Hotel Ini Jadi Pionir "Warm Up Vacation"

Sebaliknya, adanya berbagai persayaratan perjalanan dalam suasana pandemi menyebabkan biaya perjalanan menjadi jauh lebih mahal, dengan keyamanan yang justru lebih rendah. Calon wisatawan juga mengalami kesulitan untuk datang ke Indonesia, terkait dengan kesulitan mendapatkan Visa.

Belum lagi persyaratan bahwa perjalanan wisata ke Indonesia (Bali) harus mendapatkan jaminan dari sponsor, dan sponsor ini harus dari usaha perjalanan wisata. Artinya, calon wisatawan yang akan datang
dengan mengatur perjalanannya sendiri (FIT, Free Individual Travellers) tidak bisa datang.

Di lain fihak, pasar GIT (group) yang disasar memerlukan persiapan yang lebih lama. Yang juga menyebabkan wisatawan belum datang adalah adanya kebijakan karantina, paling tidak selama tiga hari, walaupun mereka sudah berkali-jali dites dengan hasil negatif.

Lebih beratnya lagi, karantina harus dilakukan di
hotel-hotel tertentu, dengan biaya sendiri. Dalam
situasi riil saat ini, calon wisman tidak bisa langsung datang dari luar negeri ke Bali, melainkan harus mendarat di Jakarta, kemudian di karantina di Jakarta, barulah kemudian bisa ke Bali pascakarantina.

Baca juga:  Kekerasan Kesejahteraan

Berbagai kebijakan di atas, yang memberikan “efek negatif” atas kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali, sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah
pusat. Semuanya di luar kewenangan bupati/walikota, maupun gubernur.

Gubernur dan bupati/walikota hanya wajib menerima keputusan atau kebijakan pusat. Di pusat, kewenangan tersebut tersebar di berbagai kementerian, antara lain Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perhubungan, yang dikoordinasikan oleh Menko Maritim dan Investasi.

Dengan tiadanya kewenangan pada level
kabupaten/kota maupun gubernur, maka apabila Bali ingin segera nemulihkan pariwisata, negosiasi, komunikasi, atau diskusi-diskusi harus dilakukan dengan berbagai kementerian atau Lembaga-lembaga di atas.

Dalam kaitan ini, saya patut mengapresiasi Gabernur Bali, Dr Wayan Koster, yang sudah berjuang mengurangi masa karantina dari 10 hari menjadi 5 hari dan akhirnya sekarang menjadi 3 hari. Semoga ke
depan bisa menjadi 0 hari (tanpa karantina), bagi
wisman yang hasil testnya negatif.

Saat ini ada 19 negara yang diijinkan masuk
ke Indonesia untuk berwisata, dan sifatnya sangat dinamis. Artinya, negara-negara tersebut bisa berubah setiap saat, sesuai dengan perkembangan yang diukur dengan standar WHO.

Baca juga:  Pekerja Migran dan Agenda 2030

Dengan melihat berbagai masalah seperti diuraikan di atas, maka rekomendasi yang sudah sejak lama saya sampaikan pada berbagai fora, perlu saya sampaikan lagi. Yang pertama, utamakan pasar dalam negeri (wisnus), yang terbukti dengan captive-market yang besar.

Sebelum covid (2019), ada sekitar 273 juta perjalanan wisnus, dengan total belanja yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan total pembelanjaan
wisman. Wisnus bukan saja harus dijadikan
‘pilihan’, melainkan harus dijadikan ‘target pasar
utama’.

Mengikuti slogan Kemenparekraft, kita kembangkan pariwisata ‘di-Indonesia aja’. Yang kedua, penyiapan destinasi harus serius dengan prokes yang ketat dan konsisten.

Paling kentara, pemakaian masker merupakan harga
mati. Dengan penerapan prokes yang ketat dan
konsisten, maka tidak tertutup kemungkinan
bahwa karantina boleh dilakukan di DTW, desa
wisata, atau pondok wisata, bukan saja di hotel-hotel ‘tertentu’.

Penulis, Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Pertanyaan saya, sebagai seorang PEMIMPIN di Bali , baik itu Gubernur ataupun Bupati , bagaimana melihat kondisi dilapangan sekarang. Hampir 2 tahun banyak orang sudah tidak berpenghasilan. Kalau ini berlanjut terus apa mereka masih bisa bertahan? Apakah ada stimulus atau bantuan apa kek gitu untuk bisa memperingan beban hidup. Bersyukur lah Bapak Bapak pejabat dan keluarga masih bisa hidup layak karena masih dapat gajih. Tolong lahhh Pak FIGHT dan bertempur utk rakyat Bali. Beberapa stakeholder pariwisata di Bali berkumpul untuk buat PETISI tapi malah tidak di dukung.
    Terus siapa yang kami harapkan untuk memperjuangkan kelangsungan hidup kami Pak?

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *