SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Adat Kloncing di Kecamatan Sawan adalah desa adat yang sangat dekat dengan jantung Kota Singaraja. Di wewidangan desa adat ini tidak banyak ada potensi yang bisa dikelola untuk menghasilkan pendapatan asli desa adat.
Namun demikian, Desa Adat Kloncing adalah salah satu desa adat di Buleleng yang mewarisi sejumlah kesenian dan budaya Bali. Atas kondisi itu, desa adat ini menggulirkan kebijakan untuk menjaga kelestarian warisan seni dan budaya itu agar tidak punah akibat perkembangan zaman milenial seperti sekarang ini.
Desa ini sebelumnya menjadi satu dengan desa dinas. Namun sejalan dengan perkembangan dan tuntutan regulasi, akhirnya Desa Adat Kloncing tidak lagi menjadi desa dinas, dan diputuskan membentuk Desa Pemerintahan dengan nama Desa Kerobokan. Sejak ditetapkan menjadi desa adat, wewidangan-nya terbagi atas dua banjar adat yaitu, Banjar Adat Delod (Utara) Bale Agung dan Baler (Selatan) Bale Agung. Di dua banjar adat itu tinggal sekitar 127 Kepala Keluarga (KK).
Meskipun wewidangan tergolong sempit dan krama desa yang minim, tetapi desa adat ini bertangung jawab terhadap prayangan yang meliputi Pura Kayangan Tiga dan Pura Kayangan Desa. Keunikan parayangan di desa adat ini adalah pura yang masuk deretan Kayangan Tiga dan Kayangan Desa berada dalam satu kawasan. Namun bedanya adalah dari nama dan bentuk palinggih yang menjadi stana Ida Batara.
Kelian Desa Adat Kloncing, Gusti Ketut Sukertia, Rabu (22/12) mengatakan, wewidangan desa adat yang sempit membuat tidak banyak ada potensi yang bisa dikelola. Bahkan, aset berupa tanah plaba desa adat pun tidak ada. Hanya ada sepetak lahan yang dijadikan warung kemudian disewakan kepada krama desa.
Meskipun tidak memiliki potensi secara ekonomi, namun Sukertia menyebut desa adat yang dipimpinnya itu mewarisi ragam kesenian dan budaya Bali. Dia mencontohkan, beberapa potensi kesenian yang begitu dikenal adalah gong kebyar dan sekaa pesantian. Untuk menjaga warisan seni dan budaya ini tidak punah karena zaman seperti sekarang, pihkanya menggulirkan program pembinaan seni dan budaya. Kebijakan ini dijalankan sejalan dengan visi dan misi Gubernur Bali Wayan Koster yang menggulirkan “Nangun Sat Kerthi Loka Bali (NSKLB)”.
Mendukung pembinaan seni dan budaya itu, Sukertia memrogramkan biaya pembinaan seni dan budaya ini dari kucuran Bantuan Keuangan Khusus (BKK) yang digulirkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Bentuk pembinaan yang dilakukan adalah membuka ruang kepada seniman untuk pentas. Salah satu ruang pentas di depan umum itu adalah setiap digelarnya Bulan Bahasa dan Aksara Bali. Selain itu, dilakukan pembinaan melibatkan pelajar dan generasi muda di desa adat.
Cara ini selain mengasah wawasan berkesenian, namun tujuan lain adalah menanamkan jiwa mencintai setiap potensi warisan seni dan budaya di desa adat. “Kami tidak memiliki potensi seperti tanah plaba desa atau sumber pendapatan lain, namun begitu kami mewarisi seni dan budaya, sehingga bagaimana warisan ini kami jaga karena sejalan dengan kebijakan Pak Gubernur,” katanya.
Di sisi lain Sukertia mengatakan, sejak menerima kucuran dana BKK Pemprov Bali, krama desa adat telah menerima manfaat bantuan itu. Buktinya, kalau sebelumnya setiap akan digelar upacara piodalan di Pura Kayangan Tiga dan Pura Kayangan Desa, krama desa wajib membayar iuran (peturunan). Namun setelah menerima BKK, di mana biaya upacara dan piodalan itu bersumber dari BKK itu, sehingga iuran itu pun telah dihapuskan.
Bukti lainnya lanjut Sukertia, pada sisi parhyangan, tahun 2021 ini pihaknya juga telah berhasil membangun Bale Kulkul di Pura Dalem. Setahun lalu, juga sudah dibangun Bale Kulkul di Pura Desa Lan Puseh. Pembangunan fisik ini pun sepenuhnya dibiayai dari BKK dari Pemprov Bali. “Sudah banyak manfaat yang kami terima, dan mudah-mudahan kebijakan yang dijalankan diera Pak Koster ini bisa berkelanjutan,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)