Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Manusia ada karena memiliki tiga unsur utama dalam hidupnya, yang dalam ajaran Hindu disebut Tri Pramana (bayu, sabda, dan idep). Bayu adalah tenaga, tanpa tenaga manusia tidak akan bisa bernapas dan tentunya tidak bisa hidup.

Sabda adalah kemampuan mengeluarkan bunyi atau suara. Kemampuan bersuara ini juga menjadikan manusia mampu berbicara dan bertutur kata. Keberadaan Idep (pikiran) merupakan unsur yang paling esensial yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Filsuf terkenal Perancis Rene Descartes menegaskan teorinya “Cogito Ergo Sum” yang berarti bahwa “Aku berpikir maka aku ada.” Dari kedua konsep tersebut, sangatlah jelas bahwa manusia ada karena kemampuannya berpikir dan kemampuan berpikirnya inilah yang menyebabkan manusia mampu ada (being) dan mengada (menunjukkan eksistensinya).

Dengan teorinya tersebut, sesungguhnya Descartes ingin mengajari kita bahwa untuk mencari kebenaran, kita perlu lebih awal meragukan atau mempertanyakan semua hal. Dengan cara demikian, kita bisa membersihkan diri dari prasangka dan kesalahan.

Konsep Descartes ini tampaknya sangat perlu menjadi acuan dalam kehidupan kita saat ini, mengingat gencar dan cepatnya beredar berbagai informasi yang bersifat tidak benar (hoaks), yang berbau intoleransi dan SARA. Kita perlu memastikan apakah yang kita baca dan kita pikirkan sudah sesuai, relevan, baik, dan benar adanya.

Baca juga:  Indeks Pembangunan Manusia 2021, Dua Provinsi Ini Capaiannya Sangat Tinggi

Jangan-jangan apa yang kita pikirkan bisa saja salah. Itu sebabnya kita perlu melakukan cek ricek, perbandingan berbagai informasi, dan tentunya menggunakan akal sehat dalam menganalisis dan memaknai suatu kasus atau fenomena. Pendidikan menjadi fondasi dalam mengasah kemampuan berpikir manusia.

Semakin tinggi pendidikan manusia, mestinya diikuti dengan semakin bagus kemampuan berpikir dan bernalarnya dalam usaha mencerdaskan diri untuk
kemajuan diri dan orang lain demi kemaslahatan
dan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Namun apa daya, fenomena yang banyak muncul belakangan adalah kemampuan berpikir tersebut tidak digunakan dengan bernalar yang baik.

Bahkan yang membuat prihatin adalah ada pihak-pihak tertentu, yang mengganggap diri berpendidikan tinggi dan agamawan dengan sengaja mengubah informasi, memlintirnya, dan memodifikasi data dan fakta agar tampak benar (padahal salah) dengan alasan-alasan tertentu untuk menjatuhkan orang lain.

Baca juga:  Ngaben Kusa Pranawa, Sucikan Kerangka Manusia Prasejarah di Museum Gilimanuk dan UGM

Salah satu contoh kasus yang paling krusial belakangan adalah seorang anak kecil yang mampu memikirkan tentang kematian dengan senyum bila
bisa melakukan bom bunuh diri kepada orang-orang yang dianggap kafir dalam sebuah kanal YouTube.
Pikiran manusia ini memang tak terkontrol.

Dia bisa akan menjadi baik dan benar kalau dididik oleh orang dewasa yang baik dan benar, yang tentunya menggunakan nalar untuk kemaslahatan manusia. Sebaliknya, dia bisa menjadi tidak baik dan salah, bila dilakukan secara keliru dengan membenar-benarkan sesuatu yang secara esensial salah.

Oleh karenanya tugas orang dewasa yaitu orangtua dan pendidik di level informal, formal, dan non formal untuk selalu membimbing anak-anak untuk mengembangkan pola berpikir yang bernalar, dengan menggunakan akal sehat, sehingga tidak malah menyesatkan dan menghancurkan mereka.

Selain itu, mengembangkan pola pikir humanis ‘aku adalah kamu’ menjadi sebuah keharusan. Ini sebuah ajaran toleransi akan hakikat manusia yang sama, yaitu sama-sama ciptaan dan sama-sama diberikan hak hidup oleh Sang Pencipta.

Baca juga:  China Setujui Uji Klinis Obat Covid-19 Berbasis Antibodi Manusia

Oleh karenanya mereka harus diajar untuk selalu mencintai ciptaan Tuhan tanpa memandang SARA. Cinta kasih memang seharusnya bukan hanya dipikirkan sebagai sebuah kebenaran hakiki yang bersifat universal, tetapi dihayati dan kemudian diamalkan dalam kehidupan.

Dunia akan aman dan tentram bila semua anak manusia saling mengasihi. Pemberian Tuhan yang berupa kemampuan berpikir ini hendaknya terus diasah dan dikembangkan seluas-luasnya melalui pendidikan, sehingga manusia mampu mengangkat derajatnya menjadi manusia yang memiliki posisi yang lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya di muka
bumi.

Kemampuan berpikir yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan berpikir analisis untuk mencari kebenaran secara saintifik yang juga dilandasi oleh ajaran agama dan ajaran kemanusiaan, sehingga manusia mampu bereksistensi, yaitu bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa dan negara dalam melangsungkan kehidupan yang harmonis di alam semesta.

Penulis, Guru Besar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *