Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Wayang adalah warisan budaya Malaysia! Pernyataan ini bukan meluncur dari Negeri Jiran. Baru-baru ini, Selasa (16/11/2021), sepotong gambar kepala karakter wayang menghias produk sepatu Adidas asal Singapura.

Postingan promosi alas kaki teranyar buatan perusahan perlengkapan alat-alat olahraga itu menyebut wayang kulit sebagai warisan budaya Malaysia. Sontak Instagram Adidas Singapura digeruduk oleh protes keras netizen asal Indonesia yang dengan lugas dan yakin mengatakan wayang kulit tidak lain dan tidak bukan adalah warisan asli bangsa Indonesia.

Kegaduhan yang sempat mencuat itu kemudian mencair dengan permintaan maaf dan ralat dari pihak Adidas. Melalui pontingan di Instagram Story, mereka tidak bermaksud menyebut wayang kulit bukan warisan budaya Indonesia.

Bila ditelisik, sejatinya teater boneka wayang kulit menunjukkan eksistensi tersendiri di Malaysia. Masyarakat negeri serumpun itu, sejak lampau, melestarikan Wayang Jawa dan Wayang Siam.

Menurut sejarahnya, kesenian wayang dibawa oleh imigran orang-orang Jawa ke Malaya pada abad XIX-XX. Jejak-jejak wayang kulit Jawa kini diwarisi masyarakat Kelantan dan Johor.

Sedangkan keberadaan Wayang Siam merupakan pengaruh dari kawasan Patani (Siam) Negeri Gajah Putih Thailand. Wayang Jawa lakonnya mengacu pada sumber epos Mahabharata sedangkan Wayang Siam berangkat dari cerita Ramayana.

Baca juga:  Parisada di "Parisudha”

Begitu familiarnya seni pertunjukan wayang kulit pada budaya negeri itu hingga istilah panggung wayang digunakan masyarakatnya untuk merujuk pada bioskop, gedung pertunjukan film. Teater boneka yang bayangannya terhampar dalam bentangan kain tipis tersebar di penjuru Asia seperti di Tiongkok, India, Thailand, Kamboja, Myanmar, Filipina dan Indonesia.

Sejak 1500 SM kesenian ini menjadi bagian shamanisme ritual pemujaan kepada arwah para leluhur. Era dinasti Han di Tiongkok pada periode 140
M misalnya, telah mengenal teater bayangan di balik kain mori sebagai ritual mengenang atau mengisahkan istri sang raja.

Demikian pula Suku Tamil di India Selatan, sudah mengenal pertunjukan boneka dua dimensi sejak abad ke-3 SM. Wayang kulit di Pulau Jawa yang diduga sudah ditemukan pada abad IX juga memiliki
fungsi yang sama sebagi media mengundang roh.

Sejak kedatangan pengaruh Hindu pada abad I di Nusantara, wayang kulit semakin mengkristal berorientasi dengan susastra Mahabharata dan Ramayana. Torehan tua yang mengacu dengan kesenian wayang dapat dijumpai dalam sejumlah bukti tertulis, misalnya, di Bali ditemukan istilah parbwayang dalam prasati Bebetin yang berangka tahun Caka 818 (896 M), yang berarti pertunjukan wayang.

Baca juga:  Wayang Itu Kita

Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa pada masa
pemerintahan Raja Airlangga di abad XI telah menyenandungkan: hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap. Artinya: ada orang melihat wayang, menangis, kagum, serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara.

Diduga, berbagai bagian dari cerita Mahabharata
telah disalin dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno)
semenjak akhir abad ke-10 Masehi pada masa
pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh di
Jawa Timur (991–1007 M). Sepanjang tak kurang dari 11 abad perjalanan wayang bersemayam dan sungguh lekatnya wayang dengan budaya Nusantara, khususnya di Jawa dan Bali, menyemai keyakinan dan sekaligus rasa memiliki, bahwasannya kesenian yang
oleh para peneliti asing disebut sebagai teater tutur terindah di dunia ini, adalah memang berurat akar serta bertumbuh di pertiwi Khatulistiwa.

Baca juga:  Memprihatinkan, Kesenian Wayang Bali Tunjukkan Tren Penurunan

Kebanggaan terhadap warisan luhur itu semakin
mantap setelah UNESCO (PBB) menetapkan
pada 7 November 2003, pertunjukkan wayang
kulit menjadi Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity atau karya kebudayaan
yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan
warisan budaya yang indah dan berharga. Pengakuan ini jelas: wayang kulit adalah warisan budaya negeri Bhineka Tunggal Ika, wayang nyata Indonesia.

Hanya, kiranya kini yang gamang, justru keberadaaan wayang kulit itu sendiri, di tengah kecenderungan marginalisasi terhadap warisan seni tradisi menghadapi hempasan buncah globalisasi. Bisa jadi, generasi milenial kita, tak paham lagi dengan lakon cerita wayang, keteladan tokoh-tokoh wayang, genre wayang dan seterusnya. Sering, kita hanya peduli, merespons secara reaktif, berang, bila ada pihak atau
bangsa lain yang mengklaim seni budaya kita sebagai warisan budaya mereka.

Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *