Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Tahun 2022 sudah datang dan dunia masih menghadapi Pandemi Covid-19. Selama gelombang satu dan dua pandemi yang sudah terlewati banyak pembelajaran yang kita dapatkan. Kala itu, tiap hari hampir semua bentuk media menyajikan berita-berita mengerikan seputar dampak pandemi. Mulai dari dampak langsung berupa angka penderita yang terus naik, munculnya varian baru, penuhnya rumah sakit dan lokasi isolasi, dan lainnya. Dampak ikutan juga tidak kalah buruknya seperti lesunya ekonomi, kenaikan angka kemiskinan, dan sebagainya.

Kompleksitas kondisi dan tantangan dalam penanganan pandemi terus hadir. Kondisi yang ada salah satunya disebabkan gencarnya arus informasi yang menyebabkan publik atau penerima mengalami obesitas. Sebagian besar informasi tersebut merupakan hoaks. Belajar dari itu, semua pihak mesti melakukan mitigasi secara partisipatif guna menyajikan literasi digital dalam mengantisipasi obesitas informasi selama pandemi ini. Dalam dunia medis, obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama (WHO, 2000).

Kita disebut mengalami obesitas informasi karena adanya timbunan informasi yang kita nikmati setiap saat tetapi tidak produktif atau bermakna bagi hidup (Habibi, 2018). Tumpukan informasi hadir karena munculnya kecanduan digital. Tumpukan informasi yang tidak berguna akan menghadirkan kekacauan berpikir, menghilangkan fokus dan akhirnya menyebabkan tidak bisa mempercayai apapun.

Baca juga:  Bacaan Bermutu untuk Literasi

Van der Linden (2018) memaparkan ada lima indikator yang biasa terdapat dalam berita ‘palsu. Pertama, terdengar konyol untuk menjadi kenyataan. Judul berita kerap dirancang khusus agar kita mengkliknya. Jadi, kita tidak boleh terjebak clickbait.

Kedua, berhati-hati dengan konten berita politik. Berita palsu memang dibingkai untuk mewakili kepentingan kelompok tertentu. Banyak riset menunjukkan bahwa manusia lebih memperhatikan dan memproses informasi yang sepaham dengan pemikirannya. Ketiga, berita hoaks lebih cepat viral daripada fakta. Viral tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang hal-hal penting. Konten viral yang dibagikan berulang kali sering didasarkan pada hal-hal tidak akurat. Keempat, verifikasi sumber dan konteks. Ciri paling mencolok dari berita palsu adalah ketiadaan sumber. Berita palsu mampu bertahan di tengah masyarakat karena kita terus-menerus dihujani informasi tersebut. Kelima, jangan terlalu percaya dengan berita yang beredar di media sosial. Media sosial bukan situs berita yang terjamin kebenarannya.

Baca juga:  Imlek dan Indonesia yang Bineka

Resolusi Literasi

Mitigasi melawan sumber obesitas informasi tidak bisa instan. Mitigasi membutuhkan pola perilaku yang dibangun melalui proses pembiasaan secara sadar dan bertahap. Untuk itu basis literasi mesti dimasifkan di dunia virtual. Inc.com menawarkan salah satu metode dalam membangun kebermaknaan informasi yaitu melalui tiga langkah utama. Pertama, membaca dari sumber yang terpercaya. Kedua senantiasa berpikir. Informasi dan pengetahuan yang kita konsumsi tidak akan bermakna jika kita tidak meluangkan waktu untuk memikirkannya secara lebih mendalam, dan mengaitkannya dengan berbagai aspek kehidupan pribadi kita. Ketiga yaitu bereksperimen. Pengetahuan teoritis pada akhirnya juga akan menjadi tidak berguna, kecuali ia kita aplikasikan dalam hidup.

Serangan hoaks juga mesti disikapi dengan tanggap dan sigap, bukan gagap. Warganet mesti berperan aktif dalam pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaraan berita dan informasi melalui dunia maya. Pada prinsipnya jurnalisme dunia maya sama dengan jurnalisme arus utama. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) memaparkan beberapa elemen jurnalisme yang dapat diadopsi warganet.

Baca juga:  Ruang Literasi di Lingkungan Birokrasi

Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi. Keempat, jurnalis harus menjaga independensi dari pihak yang mereka liput (sumber berita). Kelima, jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik bagi kritik maupun dukungan warga. Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan. Kedelapan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Kesembilan, jurnalis menulis dengan suara hati nurani mereka.

Kode etik juga mesti dijunjung dalam berdinamika di dunia maya. Positivisme mesti dikembangkan di dunia maya. Prinsip bad news is good news harus diubah menjadi good news is good news. Warganet mesti berperan memberikan pencerahan serta mengajak warganet lain agar dapat lebih optimistis  dan lebih baik. Warganet juga penting memperhatikan keseimbangan informasi dalam memposting informasi. Cek dan ricek dapat dilakukan agar terhindar dari budi daya hoaks.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *