DENPASAR, BALIPOST.com – Jumlah kasus dugaan korupsi dana LPD yang diduga dikorupsi pengurusnya di Bali semakin banyak. Semakin banyak juga LPD di Bali tersangkut hukum. Tercatat sebanyak 25 LPD di Bali masuk sidang Tipikor dan masih ada juga yang sedang dibidik aparat.
Teranyar munculnya kasus LPD milik Desa Adat Begawan. Sebanyak Rp 22 miliar uang krama lenyap. Ada juga kasus LPD Desa Adat Ungasan, yang telah menjadikan Kepala LPD sebagai tersangka karena penyimpangan pemberian kredit dan penyalahgunaan kewenangan penggunaan keuangan.
Atas terjadinya sejumlah kasus yang menimpa LPD beberapa ahli dan pegiat LPD sempat melontarkan saran-saran untuk penyelamatannya. Salah satunya, inisiator pembentukan LPD Wayan Gatha. Ia mengatakan perlunya dibentuk dana abadi untuk memback-up LPD jika mengalami wanprestasi atau bangkrut.
Laba yang dihasilkan LPD agar disisihkan 20% untuk dana abadi yang penempatannya di luar LPD tersebut dan bersifat liquid.
Sementara itu, akademisi Unud yang juga peneliti LPD, Prof. Wayan Suartana, Rabu (12/1) mengatakan, persoalan yang menimpa LPD saat ini di luar risiko yang tak bisa dikendalikan yaitu pandemi. Lebih banyak disebabkan oleh tidak berjalannya tata kelola perusahaan yang baik dan tidak ada SOP. “Kalaupun ada, tidak dijalankan dengan konsisten,” ungkapnya.
Pandemi memang membawa pengaruh yang signifikan, terutama risiko kredit LPD. Risiko kredit akan berpengaruh terhadap risiko likuiditas. Bila likuiditasnya bermasalah, akan berdampak pada operasional LPD.
LPD yang mampu mengamankan likuiditasnya, akan bisa bertahan. Di luar faktor luar biasa, LPD mestinya punya sistem deteksi dini dalam rangka mencegah terjadinya kegagalan laporan keuangan atau ketidakteraturan dan indikasi adanya kecurangan.
Dari sisi deposan, LPD harus punya sistem dan kelembagaan untuk menjamin dana pihak ketiga atau dana krama dalam bentuk tabungan dan deposito. “Riilnya saya mengusulkan agar dana pemberdayaan 5 persen dari laba LPD yang disetorkan untuk pembinaan agar dibagi dua yaitu 2,5 persen untuk pembinaan khusus LPD2 yang kurang sehat dan 2,5 persen untuk lembaga penjaminan simpanan (LPS) khas LPD. Apakah LPS tersebut berbadan hukum atau tidak, bisa dimusyawarahkan antar pemangku kebijakan dan kepentingan,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)