Oleh A.A. Ketut Jelantik, M.Pd.
Belum lama ini, melalui medsos, seorang pengamat sekaligus praktisi pendidikan bertanya kepada saya jelanperihal Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Bangli. Awalnya pertanyaannya sangat normatif.
“Pak Gung apakah semua sekolah di Bangli sudah PTM?” ”Belum Ibu. Masih ada beberapa sekolah yang sedang proses penyiapan PTM,” jawab saya datar.
Lalu beliau melanjutkan pertanyaan yang sedikit analitis. “Menurut Pak Gung sudah efektifkah PTM
tersebut?” Sesaat saya tertegun dengan pertanyaan itu.
Jemari tangan saya yang biasanya lincah memencet papan keyboard handphone terhenti sesaat. Dan sejurus kemudian, “jujur sepertinya belum ibu,” jawab saya pendek.
Meski tidak terlalu mendalam, namun diskusi melalui medsos pun berlanjut. Ya, pertanyaan seputar efektivitas pelaksanaan PTM memang acapkali memenuhi ruang diskursus publik mulai dari guru kepala sekolah hingga pemerhati pendidikan.
Di tengah bayang-bayang makin meluasnya penyebaran varian omicron, awal tahun 2022 ini
pemerintah akhirnya memutuskan kembali untuk melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri yakni Mendikbud Ristek, Mendagri, Menag, serta Menpan RB. Terdapat sejumlah perubahan kebijakan yang termuat dalam SKB empat menteri tersebut yang salah satunya memberikan kesempatan kepada sekolah untuk melakukan tatap muka secara utuh alias pertemuan tatap muka 100 persen sepanjang sekolah tersebut
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
pemerintah.
Sekolah sesungguhnya sudah berpengalaman dalam melaksanakan PTM. Karena tahun lalu mereka sudah permah melaksanakan Pertemuan Tatap Muka terbatas (PTMT).
Berpijak dari pengalaman tersebut, diharapkan PTM tahun ini harus lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jujur harus diakui di balik euphoria pelaksanaan PTM, ketersediaan infrastruktur khususnya sarana prasarana pendukung Prokes di sekolah cukup memadai pun partisipasi warga sekolah pada program PTM sangat tinggi.
Namun demikian, dari segi substansi khususnya pemberian hak siswa untuk memperoleh pembelajaran yang efektif dan efesien dalam rangka mewujudkanbwellbeing students, selama pelaksanaan PTMT tahun lalu masih jauh dari harapan bersama.
Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan, permasalahan paling krusial yang terjadi adalah pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Ada kesan, jika proses pembelajaran selama PTM merupakan duplikasi proses pembelajaran dalam kondisi normal, hanya jumlah siswa di dalam kelas
serta waktu yang dibatasi.
Mekanisme, strategi, setting pembelajaran yang disusun dan dilakukan guru masih tetap seperti pembelajaran sebelum pandemi covid-19. Pada masa pandemi Covid-19 proses pembelajaran diharapkan akan mampu menciptakan anak-anak yang sejahtera dalam arti luas.
Dalam konteks ini disebut oleh Mendikbud Ristek
Nadiem Anwar Makarim sebagai wellbeing student. Maka, selama PTM guru harus berupaya menumbuhkan kebiasaan positif bagi siswa, terbiasa membangun hubungan baik dengan sesama, menggali dan mengembangkan potensi siswa, menciptakan pembelajaran bermakna, melibatkan siswa secara aktif, serta membangunbdaya lenting atau resiliensi siswa.
Singkat cerita, PTM tidak membebani siswa dengan capaian target kurikulum secara kaku. Guru inovatif tidak akan menunggu perintah atasan untuk melakukan sesuatu, namun bergerak untuk menjemput hal-hal baru yang berguna untuk pengembangan karirnya.
Maka, selama PTM guru harus secarabaktif mencari model-model pembelajaran paling up to date alias kekinian. Bukan menjelaskan materi, memberikan
tugas secara berlebihan.
Guru kreatif mampu membaca tanda-tanda zaman dan sekaligus terdepan dalam melipatgandakan segala potensi yang ada pada dirinya untuk kepentingan orang banyak. Pelaksanaan PTM hendaknya jangan hanya dipandang sebagai
sebuah keputusan formil dengan terpenuhinya
persyaratan administratif, namun harus dicermati sebagai keputusan profesional.
Karenanya, warga sekolah khususnya guru harus mempertaruhkan profesionalisme di hadapan masyarakat. Efektivitas substantif proses pembelajaran tatap muka akan diukur seberapa besar guru mampu memberikan pelayanan terhadap hak belajar siswa dalam arti yang sesungguhnya, bukan manipulative. Untuk itu guru harus menjaga komitmen, mengembangkan kreativitas dan inovasi sepanjang hayat.
Penulis Pengawas Sekolah di Disdikpora
Bangli.