Oleh Kadek Suartaya
Gelora kenusantaraan sering dikumandangkan oleh para pegiat seni Pulau Dewata. Tema kesatuan bangsa itu, bukan hanya dikomunikasikan di lingkungan masyarakat Bali saja namun juga tak jarang di tengah tataran forum nasional.
Teranyar, sebuah garapan seni bertajuk “Taruna Bali Kusuma Nusantara” yang dibawakan pelaku seni tari, karawitan dan teater Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, ditampilkan pada puncak Festival Kesenian
Indonesia (FKI) di Bandung, pada Oktober 2021 lalu. Sebelumnya, nun pada tahun 1990, ISI, semasih bernama Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, juga pernah menyuguhkan pentas seni pertunjukan kolosal dalam kemasan oratorium dengan judul “Derap Persada Nusantara” di Jakarta serangkaian dengan Hari Kebangkitan Nasional.
Melalui beragam pendekatan ekspresi dan kreativitas, topik kenusantaraan yang umum dieksplorasi adalah merujuk pada tekad Gajah Mada menyatukan Nusantara yang dikenal dengan Sumpah Palapa. Gaung Nusantara telah mengguncang Bali Dwipa pada pertengahan abad ke-14.
Ikrar Patih Gajah Mada di hadapan Ratu Majapahit,
Tri Bhuana Tungga Dewi, mengancam kekuasaan Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, raja Bali saat itu. “Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa“, ujar Gajah Mada.
Bali sebagai pulau terdekat dari kekuasaan Majapahit menjadi target pertama. Dalam sebuah ekspedisi besar-besaran pada tahun 1334, Kerajaan Bedahulu dapat ditaklukkan. Nusantara yang ingin dicita-citakan Gajah Mada terkuak.
Cerita kejayaan Majapahit, kita pahami, dikenang harum sebagai perintis kesatuan Nusantara yang bersemai sekarang menjadi Indonesia. Kini, berkaitan dengan program pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur, Presiden Joko Widodo telah memutuskan memberi nama IKN baru
itu, Nusantara.
Terkait alasan kenapa nama Nusantara yang dipilih, karena kata tersebut sudah dikenal sejak lama dan ikonik di dunia internasional, menggambarkan kenusantaraan kita, Republik Indonesia. Pemberian
nama Nusantara ini tampak senapas dengan desain istana IKN karya I Nyoman Nuarta yang berbentuk dasar burung Garuda, lambang negara Republik Indonesia.
Perpaduan desain yang megah dan nama Nusantara
yang disematkan pada IKN, terasa mengobarkan spirit nasionalisme menapak kejayaan bangsa gilang
gemilang. Kata Nusantara tercatat pertama kali dalam
kitab Negarakertagama untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.
Perkataan yang berasal dari bahasa Jawa Kuno ini adalah gabungan dari nusa berarti “pulau” dan antara adalah “luar”. Dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit, Nusantara yang berarti “pulau lain” (di luar Jawa) adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan.
Pada tahun 1900-an istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda. Sekalipun nama “Indonesia” disetujui untuk digunakan sebagai nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kata Nusantara tetap diabadikan
sebagai padanan untuk kepulauan Indonesia.
Amanat memuliakan kenusantaraan tampak kental dalam sebuah karya seni pertunjukan berjudul “Satria Nusantara Mahawira”. Garapan seni karya bersama tiga perguruan tinggi seni–ISI Denpasar, ISI Yogyakarta dan ISBI Bandung—yang telah dipentaskan sejak dua tahun ini, baik secara langsung serta lewat tayangan televisi maupun melalui kanal
YouTube, menunjukkan kontribusi dunia seni dalam mengemban dan menjaga keluhuran Nusantara.
Bagaimana makna kulturalhistoris kenusantaraan itu dikobarkan dalam sanubari anak bangsa, digulirkan dalam sabda Tri Bhuana Tungga Dewi kepada Gajah Mada. “Lembaran Nusantara ini ditenun dengan semangat saling menghargai dalam kerukunan Bhineka Tunggal Ika, di bawah kepak sayap tegar Sang Garuda“, ujar Ratu Majapahit yang disokong takzim Mahapatih Mangku Bumi Gajah Mada.
Kiranya, kini, persatuan-kesatuan berbangsa di bentangan Jambrut Khatulistiwa dalam representasi karya seni, akan terus dikumandangkan insani bangsa, seniman dan kreator seni pengawal peradaban.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar