Pengunjung menikmati panorama Pantai Kuta, Badung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penerbangan internasional secara bertahap dibuka. Pada 4 Februari lalu, Garuda Indonesia membawa penumpang WNA dari Jepang ke Bali. Meski WNA tersebut datang dengan visa bisnis namun hal ini memberi angin segar bagi pariwisata Bali.

Hanya saja, menurut pelaku pariwisata sekaligus Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Bali, Panudiana Kuhn, pemulihan pariwisata tidak bisa dilakukan secara parsial, harus dilakukan secara menyeluruh. “Tapi engga apa-apa. Ini untuk Bali bangkit. Gebrakan ini sebenarnya parsial-parsial. Sebenarnya pemulihan pariwisata itu tidak boleh parsial-parsial, harus menyeluruh,” bebernya.

Menurutnya, untuk tahap awal pembukaan, gebrakan ini bagus. Seluruh wisatawan dari negara manapun boleh direct masuk Bali, dengan karantina lima hari.

Namun jika visa turis tidak dibuka, baik VoA (Visa on Arrival) atau visa prabayar, maka akan sulit. “Sekarang yang bebas visa kan tidak ada lagi. Yang ada sekarang bisnis visa, itu pun harganya minimum Rp 5 juta lebih dan mencarinya sulit. Sedangkan yang datang ke Bali itu kebanyakan pelancong bukan pengusaha. Visa dinas untuk diplomat juga datangnya tidak ke Bali tapi ke Jakarta, PPLN yang datang dengan visa kerja juga sedikit, paling bagi yang kerja di hotel atau dimana,” ungkapnya, Minggu (6/2).

Baca juga:  Heather Mack Sempat Takut dan Mau Pingsan Jelang Pembebasan

Stakeholder pariwisata telah mengajukan agar visa turis atau visa apapun agar harganya tidak lebih dari USD 100 agar bisa masuk ke Bali. “VoA itu datang bayar di airport, dulu harganya USD 25, sekarang engga ada yang namanya VoA. Nanti kalau sistemnya seperti itu, penerbangan internasional pun akan berhenti lagi, karena rugi kalau hanya membawa 10 penumpang, 5 penumpang, 16 penumpang. Apalagi armada yang membawa pesawat gede, Airbus yang bisa memuat 300 orang,” jelasnya.

Dengan adanya kebijakan ini, akan menyaring wisatawan yang ke Bali yaitu wisatawan berkualitas, sehingga quality tourism dapat terwujud seperti cita-cita pariwisata Bali. Namun, menurutnya, perlu dipikirkan bahwa Bali tidak didesain untuk itu, mengingat di Bali ada homestay, cottages, guesthouse, hotel melati yang harganya menengah ke bawah. “Bali didesain untuk wisatawan campuran, hotel-hotel kecil ke bawah itu mau diapain itu, milik UKM Bali kan itu,” tandasnya.

Baca juga:  Fakultas Teknik Unud, Bantu Bilik Uji Swab ke RSPTN Udayana

Ia menuturkan, sebelumnya pariwisata Bali belum memiliki masterplan. Pariwisata Bali maju dengan sendirinya atas campur tangan dari wisatawan asing yang pergi ke berbagai wilayah di Bali.

Seperti majunya pariwisata di Kuta diawali dengan surfer-surfer luar negeri, penjual baju-baju yang tinggal di Kuta. “Begitu juga di Ubud, maju karena kedatangan wisatawan asing sebagai pelukis, seniman yang tinggal di sana. Di Sanur juga begitu, jadi kebetulan saja. Nasibnya baik, Bali itu culture punya, gunung, punya, pantai punya, danau punya, indah sekali, makanya bule-bule itu tertarik tinggal di Bali. Akhirnya jadi desa wisata-desa wisata,” tuturnya.

Baca juga:  Tiongkok akan Batasi Penerbangan Internasional

Menurutnya jika seseorang ingin ke luar negeri, yang terpenting adalah memiliki visa. Urusan karantina nomor dua.

Jika sudah bebas visa, orang akan berbondong-bondong berangkat ke Bali. Hal ini terjadi pada 2017-2019 pada beberapa negara, tanpa perencanaan.

Meski demikian, ia bersyukur Bali telah dibuka. Karantina di Bali pun kini ada pilihan warm up vacation yang mana PPLN dapat menjalani karantina di hotel, dapat keluar kamar dan menikmati fasilitas hotel. Pilihan karantina inipun dinilai dapat menarik PPLN untuk datang ke Bali.

Hanya saja, length of stay turis dari Asia seperti RRT, Jepang, Korea, India, Singapura, Malaysia, hanya empat hari. Sehingga warm up vacation yang wajib dijalani selama lima hari tidak akan relevan dengan karakteristik wisatawan Asia tersebut. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *