Potret sejumlah orang yang menggunakan masker di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Banyaknya kasus kematian merupakan bukti dari kegiatan 3T (testing, tracing dan treatment) yang belum memadai. Hal itu ditegaskan Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman. “Angka kematian adalah penanda keparahan dari suatu wabah atau pandemi. Semakin banyak kematian berarti wabah itu parah, ini satu hal yang mendasar. Kedua, kematian itu adalah indikator dari terlambatnya penanganan dari situasi wabah,” kata Dicky, dikutip dari kantor berita Antara, Senin (7/2).

Dicky menuturkan apabila terjadi kematian pada seseorang pada awal bulan Februari, orang tersebut memiliki kemungkinan sudah terpapar COVID-19 dari tiga sampai empat pekan yang lalu, sejak kasus itu terjadi. Artinya, bila dalam lamanya masa itu orang tersebut tidak dapat dideteksi lebih awal ataupun mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan dan meninggal dunia, memperlihatkan adanya keterlambatan dari sistem tes dan pelacakan yang dijalankan sebuah negara.

Baca juga:  Kemenhub akan Perketat Bahan Berbahaya Masuk Kapal

“Satu kasus kematian itu harus menjadi pelajaran penting dan berharga untuk dicari tahu di mana lengah dan lemahnya untuk diperbaiki. Satu kematian sudah sangat berarti, menjadi suatu tamparan dalam tanda kutip terhadap program pengendalian pandemi negara,” tegasnya.

Selama masa keterlambatan itu, negara menciptakan peluang dimana orang lain bisa terinfeksi, mengalami kerusakan organ karena menjadi sarang dari virus atau melahirkan mutasi varian baru yang lebih berbahaya, bahkan menyebabkan kematian bagi lansia, penderita komorbid, termasuk anak-anak.

Selain tes dan pelacakan, sistem pelaporan kasus kematian juga dapat menjadi indikator dari gagal atau tidaknya negara menangani sebuah pandemi. Sebagai contoh, di Amerika telah ditemukan sebanyak 7.000 kasus.

Baca juga:  IIMS Hybrid 2022, KBA Yamaha Marine Luncurkan Program Berhadiah

Hal itu menunjukkan sistem pelacakan dan pelaporan dapat berjalan baik, karena banyak kasus ditemukan sejak awal infeksi terjadi. Berbeda dengan Indonesia yang masih melaporkan kasus kematian mencapai 44 hingga 50 kasus per harinya. “Saya sampaikan Indonesia salah satu negara yang dari sistem pelaporan kematiannya belum memadai, sebelum pandemi saja sudah seperti itu. Artinya, angka kematian di masyarakat bisa jauh lebih tinggi,” kata Dicky yang juga peneliti pandemi dan global health security itu.

Dia meminta pemerintah Indonesia untuk tidak cepat berpuas diri dengan angka kematian yang nampak masih sedikit. Sebab, seringkali terjadi di negara berkembang puncak kasus kematian dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es”.

Baca juga:  Kasus Bertambah Seribuan Orang, Korban Jiwa COVID-19 Nasional Balik ke Puluhan

Sedangkan pada masyarakat, ia meminta untuk tidak ada yang menyepelekan bahaya Omicron dan terus disiplin menjalankan protokol kesehatan, karena kasus kematian yang rendah akibat varian baru itu tidak terjadi, karena Omicron lebih lemah dari Delta, tetapi karena cakupan vaksinasi yang sudah lebih luas dalam masyarakat. “Saya selalu sampaikan prediksi saya 10 kali dari yang dilaporkan. Maksudnya, minimal bukan yang optimal. Cara dari perhitungannya kita lihat dari yang Delta saja, itu sudah minimal 10 kali dari hasil surveillance dari kasus yang dilaporkan dan ternyata terinfeksi,” ucapnya. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *