Oleh I Gusti Ketut Widana
David Bennett (57 tahun), menjadi orang Amerika pertama di dunia yang mendapatkan transplantasi jantung dari babi yang dimodifikasi secara genetik,
dengan hasil baik secara medik. Babi dipilih karena memiliki ukuran organ yang mirip dengan manusia dan relatif mudah dipelihara serta berkembang biak.
Lalu, bagaimana sudut pandang etik (etika Hindu) menanggapi terobosan medis yang mencengangkan dunia kedokteran belakangan ini? Pada dasarnya, transplantasi (pencangkokan) organ atau jarigan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat.
Ini adalah terapi pengganti (alternatif) sebagai upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan
organnya, mengingat hasilnya lebih memuaskan
dibandingkan dengan terapi konservatif. Hanya saja pada umumnya, dan ini sudah lazim berlangsung, orang mengenal transplantasi sebatas sebagai sebuah tindakan donor, seperti donor darah.
Namun kemudian yang didonorkan berkembang dalam bentuk organ/bagian tubuh lainnya, seperti ginjal, jantung, sumsum tulang, hati, kornea mata, bahkan sperma, dan lain-lain. Itupun transplantasinya dilakukan dengan pengambilan organ tubuh manusia untuk manusia lainnya (allo transplantasi), atau bisa juga untuk diri sendiri (autotransplantasi), seperti pada transplantasi jaringan kulit.
Sedangkan transplantasi terhadap warga Amerika ini dilakukan antar spesies (xenotransplantasi) diambil dari organ tubuh babi yaitu bagian jantungnya.
Kemajuan spektakuler dunia kedokteran ini memang tidak lumrah, tetapi setidaknya menjadi pemecahan masalah terhadap kesulitan mendapat donor jantung, meskipun hendak diambil dari orang meninggal sekalipun.
Menurut ajaran Hindu berbasis wasudewa kuthum bhakam (semua makhluk bersaudara) yang kemudian ditransformasi ke dalam ajaran tat twam asi (semuanya adalah aku), perbuatan transplantasi organ tubuh dapat dibenarkan dan sangat dianjurkan, sebagai wujud maha-yadnya — pengorbanan utama dan mulia demi kelangsungan hidup makhluk/manusia lainnya. Jangankan mengorbankan bagian organ tubuh, nyawa sekalipun rela dikorbankan, semisal dalam perang membela dharma, surgalah pahalanya.
Tak ubahnya seperti lingkaran tri kona, bahwa kelahiran, lalu kehidupan dan akhirnya kematian terus berputar dalam irama reinkarnasi hingga kelak mencapai obsesi tertinggi: “kalepasan” (moksa). Ketika mengalami kelahiran kembali itulah Sang Atman akan berganti “baju” (badan) baru demi sebuah eksistensi diri menjalani kehidupan di masa panumadian dengan bekal karma wasana (sisa/bekas
hasil perbuatan) masa kehidupan lalu.
Begitulah analoginya terhadap sebuah tindakan transplantasi organ pada tubuh seseorang, menggantikan organ lamanya yang telah usang/rusak (tidak berfungsi) dengan organ baru (sehat). Hal ini dengan jelas dinyatakan dalam kitab Bhagawadgita, II.22 : “seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang Atma menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna”.
Lebih diperkuat lagi melalui kutipan kitab hukum Hindu Manawadharmasastra, VI. 28 : “Prajapati (Tuhan Pencipta makhluk) telah menciptakan seluruh dunia ini adalah untuk mempertahankan kehidupan
makhluk yang mempunyai jiwa penting, semua
ciptaannya yang bergerak maupun tidak bergerak
adalah makanan dari semua makhluk hidup”.
Artinya, secara anumana pramana (analisis logis secara biologis), tindakan transplantasi hakikatnya identik dengan perbuatan mengonsumsi makanan. Sama-sama memasukkan organ tubuh makhluk lain dalam hal ini hewan babi ke dalam tubuh manusia.
Bedanya, jika dalam proses transplantasi, organ/bagian tubuh hewan (babi) dimasukkan dengan cara mencangkokkan untuk mengganti organ jantung manusia yang sudah tidak fungsional, sedangkan dalam proses mengonsumsi bagian tubuh hewan (disebut daging) dilakukan dengan memasukkan ke dalam mulut lalu mengunyah hinga kemudian beredar
di dalam saluran pencernaan yang kandungan
unsurnya seperti protein atau lemaknya sangat
berguna bagi pembentukan sel atau penguatan
kesehatan manusia.
Cukup jelas, bahwa tindakan transplantasi, baik antarmanusia ataupun antarsspesies, sepanjang
diperuntukkan untuk tujuan luhur yaitu memperbaiki organ rusak, meningkatkan dan menguatkan kesehatan tubuh, apalagi dapat menyelamatkan
kehidupan seseorang yang sudah terancam “kembali” pada-Nya, maka itulah dharma utama — kewajiban umat (manusia) untuk melakukannya.
Kitab Santi Parwa 259, 26 menegaskan: “Sesungguhnyalah semua alam dan tumbuh-tumbuhan dan binatang diatur oleh Dharma”.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar