SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Adat Patas di Kecamatan Gerokgak salah satu desa adat di Buleleng yang memiliki warisan permainan tradisional Gebug Ende. Permainan tradisional ini juga dikenal dengan sebutan Sekaa Ende.
Permainan ini berkembang pada masa lalu saat warga di desa adat di Buleleng barat ini dibentuk yang notabene penduduk awalnya adalah berasal dari Desa Seraya, Karangasem. Meskipun merupakan pengembangan permainan dari Karangasem, warga di desa adat ini komitmen menjaga kelestarian permainan yang satu ini. Ini karena keyakinan bahwa permainan ini syarat dengan taksu.
Pada musim kering warga sulit mendapatkan air untuk bercocok tanam jagung, sehinga permainan ini dipentaskan untuk memohon turunya hujan kepada Ida Sanghayang Widi Wasa (Tuhan-red). Kelian Desa Adat Patas Jro Wayan Sueca, Kamis (10/2) mengatakan, pada awalnya memang warga yang bermukim di desa adat adalah penduduk pendatang dari Desa Seraya, Karangasem. Warga pendatang yang memilih tinggal di Desa Adat Patas semakin berkembang hingga sekarang tercatat warga desa adat sebanyak 2.212 kepala keluarga (KK).
Warga tinggal menyebar di Banjar Adat Merta Sari, Mekar Sari, Tegal Asri, Tegal Sari, dan di Banjar Adat Yeh Biu.
Setiap warga di desa adat ini bertanggung jawab penuh sebagai pengempon Pura Kayangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura Segara. Selain itu, warga juga menjadi pengempon di Pura Kayangan Desa yaitu Pura Taman. “Kalau dari sejarah terbentuknya awalnya memang leluhur kami itu dari Desa Seraya kemudian berkembang sampai sekarang. Kalai tidak salah sekitar dua pertiga warga sekarang awalnya dari Seraya, dan sampai sekarang berkembang kemudian bertangung jawab penuh sebagai pengempon di pura kahyangan tiga lan kahyangan desa,” katanya.
Menurut Sueca, para leluhurnya pada saat merabas hutan dan tinggal di Desa Patas turut membawa permainan tradisional yang dikenal dengan nama Sekaa Ende. Sejalan dengan perkembangannya permainan ini juga disebut Gebug Ende. Warga percaya dengan taksu dari permainan ini.
Warga percaya ketika dalam pertandingan satu pemain mengalami luka karena pukulan dari batang rotan, dipastikan akan turun hujan. Warga lantas dapat mengolah tanah mereka untuk ditanami jagung. “Kalau dari penuturan pengelingsir dan saya sendiri pernah menyaksikan, di mana saat itu setelah 25 hari memanam jagung tidak dapat air karena tidak ada hujan. Kemudian diadakan permainan ini, dan ada yang terluka, secara langsung turun hujan, dan sampai sekarang kepercayaan itu sangat kami yakini,” katanya.
Untuk menjaga kelestarian dan taksu dari permainan ini, ia menyebutkan, kebijakan yang dijalankan para prajuru desa adat mengembangkan permainan tradisional Gebug Ende. Langkah ini juga sejalan dengan visi misi Gubernur Bali Wayan Koster yang menggulirkan kebijakan Nangun Sat Kerthi Loka Bali (NSKLB), adalah menjaga kelestarian seni tradisi dan budaya Bali.
Dengan kebijakan Gubernur itu, pihaknya memprogramkan pembinaan sekaa ende. Selain pembinaan, dengan memanfaatkan dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, tahun ini pihaknya akan memperbaiki sarana dan prasarana penunjang permainan Gebug Ende. “Kalau minat generasi muda sangat tinggi, cuma sarana prasarana sudah banyak yang rusak, sehingga kami programkan pembinaan sekaa ende ini dengan memanfaatkan bantuan Bapak Gubernur, dan kebijakan ini seiring dengan Visi Misi Gubernur yang menggulirkan NSKLB,” katanya.
Selain membina permainan tradisional, prajuru Desa Adat Patas telah berhasil melaksanakan program pada baga parahyangan dan ini juga berkat kucuran BKK Provinsi Bali. Dengan dana itu, desa adat sudah membangun pemeosan tempat upacara jenazah di Setra Desa Adat Patas. Kemudian membangun bale gong dan kamar mandi di Pura Desa serta Pura Dalem. “Sangat membantu dan mudah-mudahan kebijakan ini terus berlanjut, dan kami mendukung penuh program ini,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)