I Nyoman Rutha Ady. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Rutha Ady, S.H, M.H

Tidak ada jaminan bahwa sektor pariwisata Bali akan bangkit sebagaimana harapan sebagian besar masyarakat Bali. Sejak pandemi berkecamuk dua tahun lalu, berbagai narasi dikumandangkan oleh elite birokrat tentang akan pulihnya sektor pariwisata dalam waktu tertentu.

Tetapi apa boleh buat, hari berganti minggu, bulan dan tahun, harapan itu tetap tinggal harapan semata, Ibarat senam poco-poco, bergoyang maju-mundur dan
bergerak bolak-balik ditempat saja.

Pemilik aset dan pekerja di bidang pariwisata kini sudah dalam kondisi kelimpungan untuk terus bertahan sambil menanti pulihnya sektor ini. Sudah
tidak terhitung nilai kerugian yang dialami sejak dua tahun terakhir menghadapi ancaman pandemi
Covid-19 yang menjalar luas dan teramat ganas
ke seantero dunia.

Apakah masih ada harapan untuk bangkitnya sektor pariwisata kembali seperti sebelum masa pandemi? Tidak seorangpun bisa menjawabnya.

Sementara Bali sudah terlanjur menggantungkan tumbuhnya perekonomian daerah dan pendapatan masyarakat dari sektor ini. Pariwisata bagaikan jantung ekonomi lokal yang mampu menghidupi penduduk pulau Dewata sehari-hari.

Baca juga:  Cakra Yadnya, Pemutar Ekonomi Bali

Perekonomian tumbuh dan berkembang pesat akibat dorongan kuat dari berbagai aktivitas yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kepariwisataan. Dampak signiifikan juga dialami oleh pemerintah provinisi, kabupaten dan kota di Bali dengan tumbuhnya investasi yang terus meningkat dari tahun ke-tahun sejak hampir setengah abad terakhir ini.

Pertumbuhan investasi tentu memberikan sumbangan pajak dan retribusi terhadap Pendapatan Asli Dearah (PAD) serta membuka lapangan kerja yang berdampak pada menurunnya angka pengangguran.
Tidak berlebihan apabila Bali diberi predikat Daerah Tujuan Wisata (DTW) peringkat utama yang potensi daya tariknya setara dibandingkan daerah tujuan wisata papan atas di dunia.

Tetapi apa daya, predikat membanggakan itu telah diikoyak oleh ganasnya pandemi Covid-19 dan hingga kini upaya penanggulangannya tidak kunjung tuntas. Upaya pemerintah secara maksimal sejak dua tahun terakhir tidak pernah terhenti dan masyarakat secara sadar telah mematuhi anjuran apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Tetapi faktanya angka korban akibat keganasan pandemi ini seperti tidak mengenal batas usia, ruang dan waktu. Ketaatan terhadap berbagai regulasi yang ditetapkan pemerintah dalam upaya mengendalikan meluasnya pandemi selama ini memang sangat diperlukan. Bagaikan berperang melawan musuh yang tidak nampak wujud fisiknya, begitulah susahnya melakukan penanggulangan untuk menghentika ppenyebaran dan penularan jenis penyakit ini.

Baca juga:  Pembaruan Awig-awig dalam Kebinekaan

Pembatasan mobilitas orang dengan pengetatan aktifitas perjalanan tentu saja sangat diperlukan. Demikian pula halnya upaya memecah kerumunan massadipusat-pusat keramaian seperti tempat hiburan, pasar rakyat dan pusat perbelanjaan. Ironisnya, pariwisata justru bertolak belakang dengan ber￾bagai pembatasan – pembatasan yang dianjurkan
oleh pemerintah tersebut.

Tanpa adanya pergerakan orang dari satu tempat ke wilayah lainnya, niscaya pariwisata bisa berkembang. Sektor pariwisata hanya akan bisa hidup dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Sementara adanya pembatasan pergerakan penduduk lokal, nasional dan
internasional justru akan berrdampak langsung
terhadap melemahnya kehidupan sektor pariwisata.

Di balik lesu dan hampir menyentuh rasa keputusasaan pebisnis serta masyarakat yang
selama ini menggantungkan harapan hidupnya
pada pariwisata, perlu diambil hikmahnya untuk
tetap bisa bertahan sambil menunggu munculnya
era baru pasca pandemi ini. Faktanya pariwisata tidak mati suri.

Baca juga:  Pariwisata Harus Didesain Beri Manfaat Optimal bagi “Krama” Bali

Terbukti dengan masih adanya wisatawan mancanegara dan domestik, meskipun kuantitasnya sangan kecil dan lokasi penyebarannya tidak merata. Ke depan, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat
perlu memikirkan pola pengembangan pariwisata
yang menjamin keberlanjutan serta keberpihakan
terhadap ekonomi mikro dan menengah melalui
kebijakan komprehensif yang dituangkan dalam
sebuah regulasi.

Memang tidak mudah untuk men-delete (menghapus) jejak sektor pariwisata dari bayang-bayang catatan keunggulannya sepanjang setengah abad di Bali. Siapapun, menyaksikan poco-poco terlalu lama pasti tidak enak karena membosankan.

Tetapi apa daya, itulah upaya pemerintah yang bisa dilakukan dalam mengatasi serta menanggulangi ancaman pandemi. Nampak serba salah, menjawab pertanyaan publik tentang kapan pariwisata Bali akan pulih, perlu dilakukan. Tetapi akurasi jawaban yang
terkesan maju-mundur, juga tidak bisa dihindari.

Seperti gelombang Covid-19 yang juga poco-poco
alias maju-mundur, melandai dan memuncak lagi.

Penulis, Praktisi Pariwisata dan Pemerhati Masalah Sosial, tinggal di Legian, Kuta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *