Prof. I Nyoman Sucipta. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Sucipta

Konsep pertanian perkotaan di masa mendatang selain mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dalam pembangunan fisik perkotaan, juga harus
mempertimbangkan aspek ketahanan pangan dan lingkungan. Salah satu perwujudan dari konsep ini adalah bertani di perkotaan atau biasa disebut urban
farming.

Secara umum pertanian kota (urban farming) adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budi daya dan pengolahan makanan. Pertanian perkotaan meliputi penanaman, panen, dan pemasaran berbagai bahan pangan serta berbagai bentuk peternakan yang memanfaatkan lahan-lahan
yang tersedia di lingkungan perkotaan.

Hal yang menyebabkan munculnya aktivitas
pertanian perkotaan adalah upaya memberikan
kontribusi pada ketahanan pangan, menambah
penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi. Pertanian perkotaan semakin menarik saat masyarakat kota mulai menyadari
bahwa ukuran area yang diperlukan tidak lagi seluas pertanian konvensional pada umumnya.

Jika pertanian di desa lebih mengacu kepada kuantitas karena ketersediaan lahan yang luas, maka per￾tanian perkotaan lebih menonjolkan kualitas dan
kreativitas. Urban farming atau pertanian urban
memberikan kesempatan bagi penduduk kota untuk terlibat dalam aktivitas pertanian secara langsung melalui aktivitas berkebun, maupun tidak langsung melalui aktivitas jual beli antara konsumen dan petani di gerai-gerai produk pertanian lokal.

Baca juga:  Sugihan: Sugi-Sugih-Suguh

Lahan pertanian urban juga dapat menjadi tempat dimana interaksi sosial terjadi di tengah makin minimnya ruang publik yang representatif di perkotaan. Penghuni perkotaan dapat saling bertemu atau bahkan menjalin relasi.

Lahan pertanian urban yang tetap mengakomodasi aspek estetika juga dapat menjadi wahana rekreasi dan ruang terbuka hijau yang bisa meningkatkan kualitas hidup dan spiritual keluarga. Komunitas petani menjadi masif karena gerakannya berdasar pada isu-isu yang erat dengan keseharian, yaitu pemenuhan pangan paling tidak dalam skala rumah tangga.

Komunitas petani tidak berbicara tentang isu lingkungan dalam skala makro, seperti perubahan iklim atau pemanasan global. Selain itu, gerakan sosial tersebut dilakukan pada akhir pekan –yang merupakan masa senggang dari aktivitas rutin.

Hal-hal inilah yang menarik generasi muda untuk ambil bagian secara sukarela. Namun demikian, keterlibatan generasi muda dapat lebih dikembangkan lebih lanjut, misalnya dengan pengembangan agrowisata atau industri pengolahan pangan.

Baca juga:  Seni sebagai Puncak Kesadaran

Harapannya semakin banyak generasi muda
yang melihat pertanian sebagai usaha prospektif, maka kegiatan pertanian perkotaan dapat berkelanjutan. Komunitas petani dapat berkembang pesat karena mengandalkan geraknya pada
kekuatan komunitas berbasis media sosial.

Komunitas tersebut selain menciptakan ruang publik di dunia maya juga menciptakan ruang-ruang bersama secara fisik di ranah publik sesuai dengan tujuan dan visi mereka. Melalui dunia maya seperti media sosial, anggota komunitas saling berinteraksi dan berkomunikasi yang membentuk dialog dan diskursus hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan aktivitas atau gerakannya secara offline.

Walaupun aksi dari komunitas ini bersifat informal, namun diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan dan legalitas yang sifatnya formal untuk mewujudkan perkotaan lestari. Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19.

Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat
dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan
virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini. Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya.

Baca juga:  Kecerdasan Finansial di Sektor Publik

Selama ini, Bali dianggap terlalu
menomorsatukan pariwisata dan, sebaliknya,
melupakan pertanian, sebagai akarnya. Namun, bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana.

Mereka kembali ke pertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Komunitas petani menaruh perhatian lebih pada kualitas lingkungan di perkotaan.

Komunitas tersebut menerapkan suatu rekayasa sosial yang berporos pada usaha pertanian
perkotaan dengan memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan. Komunitas petani menganut tiga prinsip utama, yaitu: (1) Edukasi, yaitu pengenalan kembali pertanian organik yang ramah lingkungan; (2) Ekologi, yaitu lahan yang digunakan untuk berkebun menjadi subur dan menjadi sarana resapan air; serta (3) Ekonomi, dimana diharapkan hasil berkebun dapat
membantu untuk memperoleh pendapatan bagi
pengelolanya.

Penulis Guru besar Program Studi Teknik Pertania dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *