I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Hari suci Nyepi dapat disebut sebagai spiritual laundry. Diawali dengan pemurnian bhuwana agung (alam fisik-material) lewat serangkaian ritual simbolik (melasti, tawur-ngrupuk dan Nyepi), lanjut melaksanakan pembersihan dan atau penyucian bhuwana alit (manusia) melalui pelaksanaan Catur Brata Panyepian.

Rinciannya, Amati Karya, meniadakan “olah-raga” (kerja jasmani), tetapi secara rohani wajib “olah-rasa” atau “olah-bathin”, menjalin relasi melalui pembangkitan energi illahi menyatu pada Hyang Widhi. Amati Geni, tidak hanya memadamkan api sakala, lebih penting lagi meredam kobaran api kama-kamomoan (hawa nafsu), seraya terus menyalakan cahaya kedewataan (sifat-sifat ketuhanan) dalam diri sebagai insan divine of God – sinar suci Tuhan.

Kemudian Amati Lelanguan, menihilkan fantasi penghiburan, fokus menuju pengluhuran agar tidak terjadi pengaburan dalam melangkah. Terakhir, Amati Lelunganan, tidak bepergian, namun tetap berikhtiar melakukan “perjalanan” kontemplasi menjejaki alur/jalur menuju puncak luhur pencapaian kesadaran spiritual – atutur ikang atma ri jatinya.

Intinya, ritual Nyepi sejatinya menjadikan seisi alam semesta ini sunyi (sipeng), membiarkan alam besar (makrokosmos) istirahat (rest) dari segala bentuk aksi eksplorasi atau eksploitasi beserta ikutan segala bentuk polusi, dan memberikan kesempatan alam kecil (mikrokosmos) menyegarkan diri (refresh), agar pulih kembali dari berbagai macam bentuk tuntutan dan tekanan (sosial, ekonomi, budaya, termasuk agama).

Baca juga:  Paradoks Pengelolaan Kinerja Guru

Tujuannya, tercipta kembali harmonisasi alam di segala lini. Sebab, Hinduisme memandang keberadaan alam semesta berasal dari Yang Maha Ada (Tuhan). Apa yang ada dan ber-ada di alam semesta ini adalah bagian tak terpisahkan dari keber-Ada-an Tuhan.

Sehingga, apapun wujud ke-ada-an seisi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya, adalah kesatuan organik dari alam kosmik yang terintegralistik ke dalam kehidupan alam semesta
Oleh karenanya, konsepsi psiko kosmos dalam teologi Hindu secara simultan menstimulus manusia agar terus membangkitkan kesadaran kosmiknya, bahwa ada-nya manusia (bhuwana alit) adalah bagian dari adanya alam semesta (bhuwana agung). Manusia sebagai makhluk utama ciptaan Tuhan, didorong untuk berperilaku mulia dengan cara memuliakan Tuhan melalui berbagai personifikasi di alam semesta.

Baca juga:  Nyepi, Polisi Tetap Siaga di Pelabuhan Padangbai

Manusia sebagai elemen mikrokosmos tak ubahnya seperti duplikasi mini dari keber-ada-an alam semesta (makrokosmos), yang kemudian terbentuk menjadi “alam kosmik”. Sehingga manusiapun hakikatnya adalah “manusia kosmik” (Donder : 2007).

Relasinya dengan hari suci Nyepi Isaka 1943 kali ini menjadi teramat penting bagi umat Hindu untuk kembali kepada kesadaran kosmiknya. Tidak boleh, apalagi merasa puas hanya berhenti pada tataran ritualistik simbolik ekspresif, tetapi diusahakan bergerak ke arah peningkatan praktik kontemplatif yang amat sublimatif bagi tumbuh suburnya jiwa-jiwa manusia berkesadaran kosmik.

Refleksi jiwa manusia yang senantiasa berpikiran positif, konstruktif, produktif, rekognitif (tercerahkan) sebagai realisasi diri berkesadaran kosmik, baik dalam konteks perilaku religik (bhakti kehadapan Hyang Widhi), humanistik (tresna pada sesama manusia) dan environmentalistik (eling pada lingkungan alam).

Ini berarti, hari suci Nyepi tidak semata dimaknai sebagai simbol kanalisasi gerak bhutakala yang cenderung euforia (ramya) — hura-hura, gaduh, dan suka mengganggu. Lebih dari itu, bagaimana agar manusia kosmik itu dapat mengeskalasi “ramya” menuju keadaan “somya” : terkendali dalam harmoni — ajeg, enteg, degdeg, pantang gedeg, tidak ngredeg apalagi saling panteg. Bila mungkin, terus menapak, menanjak, dan memuncak mencapai alam “sunya” : kesunyataan, bahwa apa yang semula berasal dari yang kosong (zero) lalu bergerak dinamis menjadi riuh-gaduh (eufo), akan kembali lagi ke alam kosong (zero).

Baca juga:  Saatnya Guru Merespons “Artificial Intelligence”

Sangat baik sekali jika dalam perjalanannya berkesempatan tampil sebagai hero — pahlawan kehidupan bagi segenap makhluk di alam semesta ini.
Kemunculan kreasi kultural lokal Bali dalam bentuk personifikasi mitologis bhutakala sebagai makhluk raksasa dalam wujud Ogoh-Ogoh yang dirangkai sebagai bagian ritual Nyepi setidaknya menjadi pengingat bahwa masih diperlukan kehadiran manusia berkesadaran kosmik sebagai pahlawan-pahlawan pembela kehidupan yang benar-benar siap menangkal, menjegal dan kemudian “menjagal” segala bentuk menifestasi karakter Ogoh-Ogoh yang masih ogah merubah tingkah polah menjadi lebih indah dan penuh berkah anugrah, agar terhindar dari masalah, ataupun musibah.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *