Tradisi Mabuug-buugan di Desa adat Kedonganan, serangkaian hari raya Nyepi kembali digelar, Jumat (4/3/2022). (BP/edi)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Setelah dua tahun vakum akibat pandemi COVID-19, tradisi Mabuug-buugan di Desa adat Kedonganan, serangkaian hari raya Nyepi kembali digelar, Jumat (4/3). Di masa pandemi yang masih dalam masa PPKM, pelaksanaan Mabuug-buugan digelar dengan penerapan protokol kesehatan sesuai imbauan pemerintah.

Seperti diketahui, mabuug-buugan ini mempunyai aktivitas dengan menggunakan tanah/lumpur (buug) sebagai media. Menurut Bendesa Adat Kedonganan, Dr. Wayan Mertha SE, M.Si, sesuai kajian dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, tradisi ini adalah bentuk ucapan syukur atas kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup berkembang biak.

Baca juga:  Muncul Sejumlah Klaster COVID-19, Ini Upaya Pemprov Bali

Juga, sebagai visualisasi dari belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan manusia dari kekuatan Bhuta itu sendiri. Dikatakannya, manusia divisualisasikan dengan balutan tanah atau lumpur sebagai perwujudan dari Bhuta atau kekotoran yang melekat pada jiwa manusia.

Untuk dapat menghilangkan kekuatan Bhuta dalam buana alit (badan kasar manusia), manusia memohon kepada kekuatan laut (Segara) sebagai penyempurnaan (Pemarisudha). Tradisi ini dilakukan oleh semua masyarakat desa adat Kedonganan baik pria, wanita, baik dewasa ataupun anak-anak. “Ini sebetulnya tradisi yang sudah ada sejak lama. Tahun 2015 ini kembali dibangkitkan dengan menggandeng muda mudi di Kedonganan untuk membangkitkan tradisi yang satu-satunya ada di Bali,” katanya didampingi Sekretaris Desa Adat Kedonganan, I Made Sumerta, SE., MM., Ak.

Baca juga:  Kapal Tangkap Ikan Hiu Ditangkap di Selat Bali

Animo anak muda terutama yowana, sangat luar biasa untuk mengikuti tradisi ini. Tradisi ini diawali dengan berkumpul di Balai desa.

Setelah dilakukan prosesi, upacara memohon kepada Tuhan agar dilindungi, pemangku memerciki tirta dari pura kahyangan desa, agar semua kegiatan bisa berjalan baik dan lancar. Selanjutnya mereka turun ke hutan mangrove dan melumuri tubuh dengan lumpur.

Setelah itu, warga akan kembali ke atas dan menuju pantai untuk pembersihan menggunakan air laut. “Makna mabung-buugan ada dua, satu sebagai ucapan terimakasih kepada alam atas kesejahteraan hasil alam baik laut maupun hasil di daratan. Makna kedua adalah pembersihan jasmani dan rohani karena selama setahun ini pasti kita pernah melakukan hal kurang baik. Lumuran lumpur atau buug ini sebagai simbol kekotoran dalam tubuh yang perlu dibersihkan,” bebernya.

Baca juga:  Desa Adat Kertajaya Pendem Dorong Pelestarian Kesenian Berko

Tahun ini, tradisi Mabuug-buugan ini telah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat, dengan ditetapkannya menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). “Ini adalah modal bagi kami untuk bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata yang mudah-mudahan saja bisa menarik wisatawan,” harapnya. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *