Oleh Ribut Lupiyanto
Konflik Rusia dan Ukraina kian memanas. Perang terbuka akhirnya tidak terhindarkan.
Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer secara resmi, Kamis (24/2). Putin memerintahkan pasukannya masuk ke dua wilayah sengketa di Ukraina Timur dengan alasan menjaga perdamaian.
Imbas konflik tentu akan mengguncangkan ekonomi. Mitigasi ekonomi perlu segera dilakukan masyarakat internasional.
Solusi damai juga menjadi harga mati guna mengantisipasi dampak terhadap perekonomian
global yang kini sedang berjuang menghadapi Pandemi Covid-19 gelombang ketiga. Dampak terbesar menghantui dunia jika konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan dan meluas adalah perekonomian.
Global Macro Outlook 2022—2023 yang dipublikasikan Moody’s Investors Service (MIS) pada Kamis (24/2) menilai bahwa masalah geopolitik Rusia dan Ukraina dapat memengaruhi ekonomi global, terutama di sektor energi. Selain indeks pasar keuangan di berbagai negara terkoreksi, harga minyak
dan emas berpotensi mengalami kenaikan.
Hal ini terjadi karena Rusia merupakan salah satu
pengekspor energi, produk pertanian, dan logam
terbesar di dunia. Peningkatan ketegangan diprediksi akan memicu kenaikan harga energi dan berbagai komoditas serta nilai tukar dolar AS, yang tentunya akan berdampak pada peningkatan inflasi.
Imbas konflik Rusia-Ukraina tidak akan luput
mempengaruhi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, perekonomian dan pasar finansial Indonesia akan relatif lebih terinsulasi. Inflasi Indonesia yang masih relatif rendah, pada kisaran 2,18%.
Capaian ini diperkirakan akan tetap terjaga di bawah 4% atau rentang atas acuan Bank Indonesia. Selain itu, sebagai negara produsen dan eksportir energi, komoditas, dan logam terkemuka di dunia, Indonesia juga diuntungkan dari kenaikan harga produk-produk tersebut.
Di sisi lain, dinamika geopolitik Rusia dan Ukraina dikhawatirkan memicu perang dunia ketiga. Hal ini akan menyebabkan kenaikan harga minyak dunia serta komoditas batu bara dan gas.
Indonesia sebagai pengimpor minyak akan merasakan imbasnya. Perdagangan berpotensi terkena pengaruh juga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor Indonesia ke Rusia pada Januari 2022 yang sebesar US$ 176,5 juta.
Komoditas yang banyak diekspor diantaranya lemak dan minyak hewan/nabati dengan nilai US$ 102,4 juta, karet dan barang dari karet dengan nilai US$ 11,1 juta. Komoditas terbesar lainnya yang diekspor Indonesia ke Rusia yakni alas kaki dengan nilai US$ 7,8 juta, karet dan barang dari karet dengan nilai US$ 7,1 juta, dan barang lainnya dengan nilai US$ 47,9 juta.
Sedangkan ekspor Indonesia ke Ukraina pada Januari 2022 hanya terealisasi sebesar US$ 5,4 juta atau setara dengan Rp 76,7 miliar (kurs Rp 14.300/US$). Secara rinci, nilai ekspor RI ke Ukraina pada Januari 2022 turun 83,78% jika dibandingkan dengan nilai ekspor pada Desember 2021 yang sebesar US$ 33,1 juta.
Rupiah juga langsung bergerak melemah sesaat setelah pengumuman perang Rusia. Rupiah melemah 24 poin atau 0,17 persen ke posisi Rp14.352 per USD dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.328 per USD.
Solusi Damai
Skenario solutif berupa akselerasi genjatan senjata hingga perdamaian mesti segera diwujudkan. Masyarakat internasional menanggung beban tanggung jawab demi kondusivitas global.
Inisiasi negosiasi yang diawali oleh Perancis dan Turki mesti dilanjutkan dan didukung kekuatan dunia lainnya. Amerika Serikat dan China mesti menyudahi provokasi hingga dukungan terbuka ke kedua belah pihak bertikai.
Indonesia yang berpotensi terdampak dan tahun ini akan mulai memimpin G-20 mesti unjuk gigi. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan, dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) pada rangkaian Presidensi G20 Indonesia, terdapat perbedaan pandangan antar masing-masing negara.
Kemenkeu menyampaikan dalam pertemuan
tersebut salah satunya menyinggung konflik
geopolitik global antara Rusia dan Ukraina terhadap upaya pemulihan ekonomi global. Namun, Indonesia sebagai tuan rumah harus mampu menengahi dan mendudukkan aspek geopolitik ini, agar tidak melemahkan upaya pemulihan ekonomi yang sedang berjalan dan tidak merata.
Indonesia selaku tuan rumah yang dipercaya dalam pagelaran Presidensi G20 tahun ini harus terus mampu memimpin, dalam menyatukan setiap perbedaan pandangan. Hal tersebut membutuhkan upaya yang keras dan tidak mudah.
Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)