Wayan Koster. (BP/Istimewa)

Oleh Gubernur Bali Wayan Koster

Sebagai implementasi Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru, Pemerintah Provinsi menginisiasi Perayaan Rahina Tumpek Wayang dengan Upacara Jagat Kerthi melalui Instruksi Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2022.

Hal ini didasari pertimbangan bahwa nilai-nilai adiluhung Sad Kerthi perlu dipahami, dihayati, diterapkan, dan dilaksanakan secara menyeluruh, konsisten, berkelanjutan dengan tertib, disiplin, dan penuh rasa tanggung jawab oleh seluruh masyarakat Bali. Untuk melaksanakan nilai-nilai adiluhung Sad Kerthi diperlukan Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali yang menyatu dan menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara Alam Bali, Manusia/Krama Bali, dan Kebudayaan Bali yang meliputi adat-istiadat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal secara niskala dan sakala.

Dalam tradisi orang Bali, Tumpek Wayang dikenal sebagai otonan sarwa seni khususnya Wayang. Bagi masyarakat yang memiliki wayang (para dalang) akan melakukan upacara yadnya pada hari ini. Demikian halnya jika dalam keluarga memiliki anak yang lahir pada Wuku Wayang maka mereka melakukan upacara dan upakara Bayuh Oton dengan pementasan Wayang Sapuh Leger pada hari suci ini.

Tumpek Wayang dianggap hari yang sangat sakral karena merupakan pertemuan beberapa waktu terakhir/transisi, yaitu: Kajeng (waktu terakhir dalam siklus Tri Wara), Kliwon (waktu terakhir dalam siklus Panca Wara), Saniscara (waktu terakhir dalam siklus Sapta Wara), dan Tumpek Wayang adalah tumpek yang terakhir dalam siklus kalender Bali. Secara filosofis Tumpek Wayang juga dianggap hari yang baik untuk pembersihan, penyucian, dan pemuliaan alam semesta (jagat raya) beserta isinya termasuk manusia yang ada di dalamnya.

Baca juga:  Gubernur Koster Gelar Persembahyangan Tumpek Wayang

 

Mengapa disebut Tumpek Wayang dan apa kaitan Wayang dengan alam semesta? Jika dicermati wujud dan tata laku pertunjukan Wayang Kulit Bali merupakan miniatur dari konsep kesejagatan alam raya. Dalam satu kropak Wayang terdiri atas ratusan figur dan tokoh yang memiliki peran dan tata laku sebagaimana kehidupan manusia di muka bumi. Dalang adalah tokoh sentral yang dengan kemampuan artistik total teater (menari, menabuh, menyanyi, dan berjapa mantra) memiliki “kuasa” untuk memainkan dan mengatur peran, serta jalannya pertunjukan, termasuk menentukan mana yang sedih atau bahagia, kalah atau menang, bahkan hidup atau mati.

Dalang juga memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang disebut Kawi Dalang, yaitu kreativitas budaya murni (genuine creativity) untuk merekayasa jalannya cerita agar pertunjukan menarik dan atraktif (tontonan), sekaligus mampu memberikan berbagai tuntunan. Kuasa yang dimiliki dalang dalam pertunjukan Wayang Kulit identik dengan Kemahakuasaan Tuhan dengan berbagai manifestasinya dalam mengatur alam semesta dan kehidupan (sarwa prani) di muka bumi ini.

Baca juga:  Ratusan Umat Hindu Ikuti Pebayuhan Sapuh Leger Massal

Dalam mitologi Siwa Nataraja disebutkan, ketika pertama kali tercipta, dunia berada dalam kondisi tidak stabil sehingga tidak ada kehidupan di muka bumi. Prihatin terhadap keadaan dunia yang labil, Dewa Siwa dalam prabawa Natha Raja (raja diraja) kemudian memutar dunia dengan gerakan (kaki dan tangan) menari sehingga tercipta keteraturan ritme dan harmoni di bumi. Sejak saat itulah kehidupan di muka bumi mulai ada, diawali dari tumbuh-tumbuhan, binatang, kemudian barulah manusia. Keberhasilan Dewa Siwa menciptakan keteraturan dan harmoni bumi beserta sarwa prani (makhluk hidup) inilah kita muliakan dengan Upacara Jagat Kerthi yang salah satunya dirayakan pada Rahina Tumpek Wayang.

Jadi Perayaan Rahina Tumpek Wayang yang dilakukan di Taman Budaya Provinsi Bali bukan hanya sekadar kumpul bareng, tetapi sebuah laku ritual memuliakan Tuhan sebagai pencipta dan penguasa Alam Semesta. Semua orang yang hadir saat ini merupakan bagian dari ritual yang memiliki fungsi kultis untuk ketentraman, kenyamanan, dan ketenangan batin, serta menumbuhkan gairah kebersamaan yang dapat memotivasi kita untuk selalu bangkit. Ritual adalah peristiwa penghayatan tatanan bersama yang niscaya berdaya guna dalam kehidupan kolektif baik dalam masyarakat tradisional maupun modern.

Baca juga:  Ancaman Bali Mandiri Ekonomi

Berkaitan dengan upaya melindungi dan memuliakan alam semesta (jagat raya), Pemerintah Provinsi Bali dengan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru, telah menerbitkan berbagai produk regulasi. Pada kesempatan ini Saya perlu menegaskan dan mengimbau kembali seluruh krama Bali agar secara serius dan konsisten menjalankan berbagai regulasi Pemerintah Provinsi Bali, yaitu: Pergub Nomor 97 Tahun 2018 Tentang Pembatasan Timbunan Sampah Plastik Sekali Pakai; Pergub Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Sistem Pertanian Organik; Pergub Nomor 45 Tahun 2019 Tentang Bali Energi Bersih; Pergub Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber; Pergub Nomor 48 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai; dan Pergub Nomor 24 Tahun 2020 Tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut. Semua Peraturan Gubernur di atas bertujuan untuk melindungi, menyucikan, dan memuliakan alam semesta termasuk kita manusia yang ada di dalamnya. Mari kita rawat bumi pertiwi tempat kita hidup ini dengan laku harmoni, yaitu memahami ritme alam semesta, bukan menguasai atau mengeksploitasinya. Dengan demikian bumi pertiwi pun akan memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada kita sekalian.

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *