Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Wisatawan secara khusus datang pertama kali ke Bali tercatat pada tahun 1924, menggunakan Maskapai Pelayaran Kerajaan Belanda yang dikenal sebagai Koninklijke Paketcart Maatsckapy (KPM). Data yang dikeluarkan Official Tourist Bureau pada 1924 mencatat 213 wisatawan datang ke Bali.

Tercatat juga data bahwa selama Januari 1927 terdapat 32 wisatawan yang sudah mengunjungi Bali untuk ke 18 kalinya. Sejak itu, wisatawan mulai berdatangan ke Bali. Sehingga bisa dikatakan bahwa “telur” pariwisata Bali mulai menetas sejak saat itu. “Ulat” pariwisata Balipun mulai menggeliat utamanya sejak Walter Spies menetap di Bali pada 1927.

Pesona bentang alam Bali beserta eksotika living culture heritage krama Bali memang mengundang decak kagum wisatawan utamanya wisatawan manca negara. Bertahun-tahun kemudian ribuan bahkan mungkin jutaan “ulat pariwisata” menggeliat melahap aneka hidangan wisata dan menciptakan industri pariwisata Bali.

Baca juga:  Bersatu Padu Mengatasi Depresi Ekonomi Bali

Kedatangan para wisatawan asing mulai membuat limpahan dolar mengalir. Seiring berjalannya waktu, zona nyaman pariwisata mulai dinikmati segenap krama Bali. Eksplorasi berkepanjangan terhadap alam dan budaya Bali atas nama pariwisata yang menghasilkan aliran dolar, kemudian berubah menjadi sebuah eksploitasi.

Gemerlap pariwisata secara perlahan juga membawa perubahan sosio-kultural dalam masyarakat Bali. Masyarakat Bali yang sebelumnya berjiwa agraris dengan sifat komunal penuh kemitraannya, secara perlahan sebagian sedang bergeser menjadi masyarakat jasa yang berciri lebih invidual dan penuh dengan kompetisi.

Hingga datanglah pandemi Covid-19 pada tahun 2020 yang bak menidurkan pariwisata Bali, pada saat “ulat-ulat” pariwisata Bali telah hidup hampir selama satu abad alias 100 tahun. “Ulat” pariwisata Balipun bak berubah bentuk menjadi “kepompong”. Semua kegiatan “ulat” pariwisata Bali yang selama ini telah melahap aneka hidangan wisata dipaksa berhenti.

Baca juga:  Pariwisata Bali Tanpa Wisman

Saatnya puasa. Kehidupan kepompong memang merupakan tahapan kehidupan berdiam diri dan tanpa melahap makanan. “Kepompong” pariwisata Bali bagai sedang mulat sarira atas industri pariwisata Bali.

Saatnya merenungkan kembali berbagai langkah industri pariwisata Bali yang telah menimbulkan degradasi sosial, budaya, dan lingkungan alam Bali. Krama Bali saat periode kepompong memang harus bisa mempersiapkan diri dan harus terbiasa hidup dengan pola hidup terbatas.

Bahkan Viraguna Bagoes Oka dalam kolom Opini Bali Post (29/3/21), menyampaikan bahwa pariwisata mancanegara baru akan pulih paling cepat pada akhir 2023 atau awal 2024. Masyarakat dunia diperkirakan baru memiliki tabungan pada akhir 2023 untuk digunakan berwisata.

Baca juga:  "The Millenials" dalam Pengelolaan ASN

Saat ini pandemi Covid-19 secara perlahan sedang menuju periode endemi, Kini saatnya “kepompong” pariwisata Bali segera akan mulai menetas menjadi “kupu-kupu” pariwisata Bali yang baru, terbang mengangkasa mengarungi industri pariwisata Bal yang baru. Kita berharap “kupu-kupu” pariwisata Bali yang baru akan tampil lebih indah dan memesona dunia.

Harus ada paradigma baru atas industri pariwisata Bali, agar proses metamorfosa pariwisata Bali yang telah berlangsung hampir satu abad tidak sia-sia. Tidak cukup dengan protokol kesehatan beserta sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Environment Sustainability). Harus berpanduan pada local wisdom krama Bali sebagai social capital dalam balutan living culture heritage.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. saat kini apapun pembangunan di bali atas nama pariwisata . pariwisata medical, pariwisata otomotif, pariwisata sport dll..disadari atau tdk akan menggeser wisata budaya dan alam yg merupakan cikal bakal berkembangnya pariwisata bali… ingat banyak daerah lain yg belum terexpose alamnya. ..barangkali entah kapan akan muncul juga ide wisata judi bahkan prost seiring jaman dan uang lebih mendominasi segalanya…bali memang sudah dikuasi oleh kaum opportunis pariwisata…program kelestarian hanyalah kamuflase belaka.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *