Oleh Kadek Suartaya
Terdapat sebuah seni pertunjukan Bali yang wajib menghadirkan babi guling dalam pementasannya. Bahkan, munculnya be guling sungguhan di tengah arena pagelarannya, menjadi adegan yang ditunggu-tunggu penonton.
Bagaimana jenis makanan klasik Bali tersebut disantap dengan lahap hingga ludes, seorang diri, oleh
tokoh yang bernama I Cupak, disimak penonton dengan rasa heran. Seni pertunjukan yang lakonnya bersumber dari cerita rakyat ini, berungkap dengan bingkai dramatari, ada dalam ekspresi Arja dan ada pula dalam sajian Prembon.
Apa pun bentuk genrenya, penyertaan babi guling yang dimakan secara kemaruk oleh I Cupak menjadikan kesenian ini unik, agak eksentrik, dan
terselip kesan urakan. Adegan I Cupak makan be guling ini biasanya ditampilkan menjelang bagian akhir pementasan.
Setelah I Cupak dinobatkan menjadi raja, perintahnya untuk selalu dihidangkan segala jenis makanan serba enak wajib dipenuhi. Babi guling adalah kuliner kesukaannya.
Di tengah panggung, para abdi raja menggelar tikar menata be guling di atas dulang. Bukan main girangnya I Cupak, hidungnya cengar-cengir dan matanya berbinar memelototi babi guling yang kulitnya berwarna kecoklatan.
Ketika caratan berisi air minum sudah siap, I Cupak pun segera mencabik-cabik dengan beringas hidangannya, mulai dari kepala hingga ke bagian-bagian kaki. Hura-hura makan kelopak-kelopak kulit dan daging be guling yang campur aduk dengan nasi ini dilakukan secara serampangan.
Nasi berceceran dan tulang-tulang babi centang perenang. Usai makan, I Cupak bersendawa sambung menyambung, puas. Kelopak matanya naik turun, mulutnya menguap, mengantuk.
Ternyata, unsur keberadaan babi guling dalam
seni pertunjukan Bali tidak hanya mengacu dari “Cupak-Grantang”–legenda yang berbalut cerita Panji (Malat). Sebuah kisah semi sejarah, Babad Timbul (abad XVII), salah satu tukilannya menuturkan babi guling sebagai unsur utama sebuah konflik.
Syahdan di Baturan (kini Batuan, Sukawati) terjadi penumpasan oleh Patih I Dewa Babi terhadap seorang penganut ilmu hitam yang bernama I Gede Macaling. Setelah perang adu sakti yang tak berkesudahan, dilanjutkan dengan media tebakan menggunakan dua ekor babi yang diguling, dimana tali pengikat kaki babi tersebut, yang satu menggunakan benang dan yang satu lagi memakai tali batang pisang (upas).
Siapa yang pilihan talinya terbakar terlebih dulu, harus mengakui kekalahan dan diusir dari Baturan. Ternyata
tali pilihan I Gede Macaling yang lebih dulu terbakar.
Gede Macaling pun pergi dan kemudian menetap di Nusa Penida. Babad yang mengisahkan versi Ratu Gede Mecaling berasal dari Baturan ini sering disuguhkan dalam dramatari Topeng.
Namun walau ada cerita babi gulingnya, belum pernah dijumpai pertunjukan teater Topeng menghadirkan be guling sungguhan, melainkan hanya berupa untaian retorika atau peragaan estetik simbolik-imajinatif.
Sesungguhnya, di luar seni pentas, secara empirik, babi guling integral dengan sosio-kultural dan psiko-religi masyarakat Bali.
Tengoklah dalam tradisi masesangi atau berkaul. Berharap memperoleh pencapaian tujuan sesuatu yang diidamkan, sering seseorang masesangi atau
masaudan babi guling, misalnya kaul lulus sekolah, berhasil sembuh dari deraan suatu penyakit, melahirkan bayi dengan jenis kelamin yang diharapkan dan sesangi lainnya.
Aroma lezatnya kuliner babi guling dalam konteks keagamaan, juga saat penandaan ritus kehidupan seseorang serta dalam kesejatian masesangi, kemudian menebar ke ruang profan di tengah masyarakat. Babi guling dikonsumsi secara bebas oleh penggemarnya.
Kendati pada awalnya, be guling menempati gengsi tinggi–karena hanya bisa dinikmati kalangan berpunya saja–namun ketika kesejahteraan masyarakat Bali semakin membaik, babi guling menjadi makanan yang
banyak diminati. Anehnya, saat pandemi corona
menyeringai dua tahun ini–babi guling Bali yang
telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda
(WBTB) Indonesia sejak tahun 2011–justru bereuforia marak, saling unjuk kesedapan cita rasa nan
membetot selera.
Belakangan, di jagat maya, menguak pula ceruk bisnis babi guling secara online. Tradisi makan daging babi (porcus) di bumi Nusantara–diantaranya lewat proses pengolahan memanggang di atas api–setidaknya telah disebut-sebut pada zaman Majapahit.
Salah satu mitologi Hindu, telah pula menempatkan babi begitu mulia, yang, menuturkan pada zaman
Satyayuga (kebenaran) Dewa Wisnu ber-awatara
menjadi babi, menyelamatkan jagat dari kehancurannya. Ajaran agama Hindu juga menyodorkan filosofi yang edukatif dengan acuan babi sebagai simbol sifat tamas yang berkonotasi negatif, oleh karenanya patut diruwat menuju karakter positif.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar