DENPASAR, BALIPOST.com – Koordinator Staf Khusus Presiden RI, AAGN Ari Dwipayana, menyampaikan kuliah umum dengan mengambil tema Toya Uriping Bhuwana, Usadhaning Sangaskara yang artinya Air Sumber Kehidupan dan Penyembuh Peradaban di Universitas Dwijendra, Denpasar (14/03/2022).
Ari Dwipayana membuka paparan dengan mengingatkan seluruh civitas akademika Universitas Dwijendra, pada nama besar tokoh suci yang disandang sebagai nama Universitas. Danghyang Dwijendra dikenal luas dengan pemikiran-pemikiran besar yang tertuang dalam berbagai karya sastra.
Ari berharap, keluarga besar Dwijendra University, menjadikan pemikiran-pemikiran besar dari Danghyang Dwijendra sebagai sumber inspirasi dalam membangun keinsyafan atau kesadaran dalam laku kehidupan masyarakat Bali.
Selanjutnya dalam kuliah umum yang di moderatori Dr. IR Gede Sedana, Rektor Universitas Dwijendra (14/03/2022), Ari menekankan bahwa masalah lingkungan di Bali tidak terlepas dari permasalahan global sebagai akibat pemanasan global. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekwensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, berdampak pada penurunan produktivitas pangan hingga mengganggu hubungan sosial antar masyarakat.
Selain itu, Bali juga memiliki permasalah lingkungan tersendiri, mulai dari deforestasi besar-besaran yang menimbulkan krisis air dan juga banjir, pencemaran air oleh sampah dan limbah dan polusi, pendangkalan dan ancaman tercemarnya Catur Danu, alih fungsi lahan pertanian, rusaknya kesuburan tanah, sampai dengan munculnya konflik karena perebutan lahan dan juga air.
Dalam menyelesaikan masalah lokal dan global maka diperlukan semangat solidaritas dan kolaborasi. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Penyelesaian juga tidak bisa dilakukan secara segmented/ parsial. Tapi, menggunakan pendekatan integrated-holistic dengan berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal. “Untuk menyembuhkan alam dan peradaban, perlu strategi nguriping toya, nguriping pertiwi,” tegas Ari.
Upaya menjaga tanah dan memuliakan air tesebut, menurutnya bisa dicapai melalui empat level. Pertama, strategi di level negara untuk menyusun kebijakan yang inklusif dan mendukung keberlanjutan. Para pemimpin harus betul-betul “pesaje” dalam menjaga alam Bali. Kebijakan insentif juga perlu diberikan bagi wilayah-wilayah konservasi sehingga masyarakat bisa mempertahankan gunung, hutan, dan danau.
Kedua, strategi di level komunitas melalui penerapan awig-awig dan perarem yang menjaga lingkungan hidup. Tri Hita Karana seharusnya tidak berhenti menjadi slogan yang dibanggakan, tetapi menjadi dresta dalam kehidupan masyarakat Bali. Berbagai desa dresta dan Kuna dresta untuk konservasi alam seperti alas kekeran perlu dipertahankan dan diperkuat lagi. Bahkan bisa dibuat alas kekeran baru.
Ketiga, strategi literasi dan edukasi di level keluarga dan sekolah. Pendidikan kearifan ekologis harus masuk dalam kurikulum mulai dari PAU sampai dengan perguruan tinggi. Di Perguruan Tinggi di bali, perlu dikembangkan tri dharma perguruan tinggi yang pro pada lingkungan hidup. Seperti mengajak civitas akademika mengadakan riset dan pengabdian masyarakat di wilayah-wilayah konservasi di hulu maupun pesisir.
“Keempat, yaitu melalui strategi pengembangan ekonomi konservasi, ekonomi hijau. Strategi ini menyeimbangkan antara aspek konservasi lingkungan dengan aspek kesejahteraan. Sehingga masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi dengan berkesadaran lingkungan. Sebaliknya, konservasi lingkungan juga memberikan benefit ekonomi” pungkas Ari.
Sebelumnya, Ketua Yayasan Dwijendra, Dr I Ketut Wirawan, S.H., M. Hum mengingatkan kewajiban masyarakat untuk ikut melakukan konservasi dan menjaga kesucian air dan tanah. “Tanah dan air sangat penting bagi kehidupan. Sebagaimana yang ditunjukkan Presiden RI, Bapak Joko Widodo, yang pada hari ini mengumpulkan tanah dan air dari seluruh Indonesia di calon Ibu Kota Negara (IKN), di Kalimantan Timur”, ungkapnya saat membuka acara. (Kmb/Balipost)