Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Dua minggu terakhir ini para ibu dan bapak rumah tangga dan pedagang yang tergolong UMKM seolah terus berlomba dan harus berdesak-desakan untuk mengantre mendapatkan minyak goreng yang sedang mengalami kelangkaan di negari ini. Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya ikut terenyuh dengan fenomena sosial ini, sebab berpuluh-puluh tahun sebelumnya, masalah ini tidak pernah terjadi.

Hal ini berbanding terbalik dengan potensi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Berbagai tanda tanya bergelayut di benak, ada apa sesungguhnya di balik semua ini?

Sebagai akademisi, saya tidak habis pikir dan menduga-duga apakah memang kelapa
sawit saat ini sedang tidak berproduksi normal atau pohonnya pada mati karena belakangan
banyak didera bencana alam atau memang ada oknum yang bermain yang melakukan penimbunan sebagai upaya menaikkan harga barang di pasaran dan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Belakangan apa yang saya duga memang itu yang terjadi.

Yang membuat saya lebih terkaget-kaget mendengarkan sebuah tayangan di media sosial bahwa ternyata ada pernyataan dari Menteri Perdagangan bahwa minyak bersubsidipun mengalami kebobolan yakni diekspor dalam jumlah besar secara ilegal oleh tangan-tangan jahat yang menginginkan keuntungan besar-besaran dengan rela menelantarkan kepentingan masyarakatnya sendiri. Ini merupakan perbuatan biadab dan tak berperikemanusiaan.

Baca juga:  Pedulilindungi Jadi Syarat Beli Migor Curah, Konsumen Ngaku Ribet

Untuk kedua kasus tersebut, saya berharap pemerintah segera bertindak dan memberikan sanksi hukum yang tegas. Di balik semua kasus tersebut di atas, apapun yang menjadi alasan yang menyebabkan kelangkaan ini, saya justru ingin mengajak para ibu dan bapak rumah tangga untuk berpikir kritis, cerdas, solutif, dan adaptif dalam mengupayakan pemecahan masalah terbaik dibandingkan harus menyalahkan sana-sini atau minimal menghindar ikut berdesakan untuk antre berjam-jam mencari sesuatu yang sulit dan bahkan dapat menimbulkan kemarahan karena tidak mendapatkan barang yang dicari.

Solusi yang saya tawarkan cukup sederhana dan gampang dilakukan sepanjang ada kemauan untuk mengubah pola pikir, yaitu pola pikir reversal. Pola pikir reversal adalah pola pikir kebalikan, yakni berpikir yang diwujudkan dengan tindakan nyata tidak melakukan apa
yang biasa dilakukan atau mengubah kebiasaan dengan melakukan sesuatu yang berbeda.

Baca juga:  Menjaga Perdamaian Pasca-Pilpres 2024

Yang dimaksudkan disini adalah berpikir dan bertindak tidak membeli dan mengkonsumsi barang yang sedang langka, seperti minyak goreng. Di tataran mikro, para ibu-ibu
dan juga bapak-bapak rumah tangga sebaiknya hindari untuk berburu barang yang
sama bersama-sama secara serentak sampai dengan berdesak-desakan.

Hal ini yang memicu harga barang menjadi lebih mahal, karena pedagang biasanya akan
meningkatkan harga barang karena jumlah pembelian yang meningkat. Dalam suasana pandemi, dengan berdesak-desakan tersebut tanpa disadari dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan.

Para ibu dan bapak rumah tangga tentu memiliki berbagai cara dan strategi untuk
memvariasikan olahan makanan tanpa minyak, seperti dengan mengukus, merebus, membakar, dan memanggang, yang tidak memakai minyak. Cara berbeda ini mungkin sudah pernah atau kadang dilakukan, namun saat kelangkaan terjadi, sebaiknya perlu diupayakan lebih maksimal untuk tidak mengolah makanan dengan memakai minyak.

Baca juga:  Kemenkeu Siapkan BLT Minyak Goreng

Hal ini perlu diusahakan oleh semua komponen masyarakat dalam tataran keluarga di seluruh Indonesia, sebagai wujud reaksi positif kepada para penimbun yang ingin keuntungan besar supaya mereka berhenti menimbun dan mengembalikan distribusi barang ke pasaran atau bila mereka tetap nakal (baca: jahat), kita doakan mereka mendapatkan sebaliknya juga, yaitu bukan keuntungan besar yang didapatkan, namun buntung besar bahkan berurusan dengan pihak berwajib karena telah berlaku curang.

Disinilah kita dituntut untuk memiliki akal sehat dan kecerdasan untuk berpikir dan bertindak solutif serta adaptif yang bahkan lebih menguntungkan dari segi kesehatan dan efisiensi, di samping membantu UMKM yang lebih membutuhkan barang tersebut agar semua usaha berjalan normal dan harga tidak dipermainkan oleh para pemilik modal besar yang suka menimbun demi keuntungan besar. Dengan solusi ini, secara tidak langsung kita juga mampu membantu pemerintah menstabilkan distribusi barang dan harga kembali normal.

Penulis, Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *