Oleh A.A. Ketut Jelantik, M.Pd.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meniadakan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengawas Sekolah yang selama ini digunakan sebagai prasyarat rekrutmen penugasan kepala sekolah sebagai pengawas sekolah. Sebagai penggantinya, Kemendikbud Ristek tengah menyiapkan regulasi tentang rekrutmen pengawas sekolah yang dikaitkan dengan program guru penggerak.
Keputusan peniadaan diklat calon pengawas sekolah tersebut tertuang dalam SE Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 0584/B3/GT.03.15/2022 tanggal 2 Maret 2022. Terbitnya SE tersebut mematik berbagai spekulasi baik di kalangan pengawas sekolah, praktisi dan pengamat pendidikan. Sebagian menilai penghapusan diklat calon pengawas sekolah tersebut sebagai upaya untuk merevitalisasi tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah, namun ada juga yang menilai kebijakan ini merupakan langkah moderat yang
diambil pemerintah melakukan regenerasi pengawas sekolah.
Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang guru sebagaimana diubah dengan Permen No. 19 tahun 2017 tentang Perubahan atas PP 74 tahun 2008 tentang Guru, pasal 15 ayat 4
menyebutkan guru yang diangkat dalam jabatan sebagai pengawas satuan pendidikan melakukan tugas pembimbingan dan pembinaan profesional guru dan tugas pengawasan.
Ekspektasi atau pengharapan masyarakat terhadap kualitas pendidikan pun makin rigid dan tinggi. Kondisi ini memaksa pengawas sekolah untuk mengkalkulasi ulang tugas pokok dan fungsinya agar memenuhi ekspektasi masyarakat.
Kemendikbud Ristek sepertinya peka dengan kondisi yang terjadi. Maka, dalam SE tersebut
Kemendikbud menambahkan tugas baru pengawas sekolah sebagai agen perubahan atau agent of change. Sedangkan dalam kaitannya dengan pembinaan di sekolah binaan, pengawas sekolah akan lebih banyak ditugaskan sebagai mentor, pembimbing, pendamping bagi kepala satuan pendidikan dan para guru atau pendidik agar menjadi pemimpin pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik dan menghasilkan pembelajaran yang lebih berkualitas. Dalam perspektif lain, SE tersebut juga bisa dimaknai sebagai langkah moderat yang bisa diambil pemerintah untuk melakukan regenerasi pengawas sekolah
dan sekaligus upaya sistematis untuk mereformasi regulasi rekrutmen pengawas sekolah.
Sangat jamak diketahui jika selama ini mereka yang ditugaskan untuk menjadi pengawas sekolah adalah kepala sekolah atau guru yang telah memasuki usia rata-rata di atas 50 tahun. Secara fisik mereka mungkin masih cukup sehat dan bugar, namun jika dikaitkan dengan kemampuan penguasaan piranti teknologi informasi berbasis digital yang notabene saat ini menjadi sebuah keniscayaan, maka mereka akan sangat terkebelakang, bahkan tidak menutupkemungkinan mereka masih gagap.
Hal ini tentunya dilatarbelakangi oleh daur kehidupan mereka yang masih lekat dengan era konvensional-nirtehnologi. Pengusangan yang berlangsung sangat cepat makin menambah beban mereka untuk menguasai tehnologi informasi paling sophisticated alias canggih.
Akibatnya, mereka akan selalu terbelakang dalam penguasaan tehnologi atau gaptek abadi. Problematika yang sering mengisi ruang diskusi publik berkaitan dengan pengawas sekolah adalah fenomena rekrutmen pengawas sekolah yang disinyalemen masih banyak belum
sesuai dengan regulasi. Masih ada guru atau kepala sekolah yang diangkat menjadi pengawas
sekolah bukan atas kemauan yang bersangkutan serta melalui mekanisme seleksi administratif dan test.
Penugasan sebagai pengawas sekolah sering kali dilatarbelakangi oleh kepentingan jangka
pendek. Lebih miris lagi ada sinyalemen mereka yang ditugaskan sebagai pengawas sekolah
merupakan korban politik lokal. Kondisi inilah yang melahirkan adagium yang menyebutkan
pengawas sekolah adalah sosok yang “terbuang”.
Namun demikian, harus pula diakui jika sangat banyak pengawas sekolah yang lahir dari sosok guru atau kepala sekolah yang sarat dengan idealisme. Kita tentunya sepakat, mereka yang ditugaskan menjadi pengawas sekolah adalah sosok yang benar-benar mumpuni baik dalam bidang akademik, penguasaan tehnologi digital, serta kemampuan melakukan transformasi dalam berbagai dimensi.
Namun akan sangat naïf jika mengabaikan faktor pengalaman sebagai pemimpin dalam kontek ini kepala sekolah. Sebab kematangan kepemimpinan hanya bisa diraih melalui daur kehidupan nyata sebagai pemimpin.
Penulis, Pengawas Sekolah di Disdikpora Bangli