Perayaan hari Pagerwsi di Buleleng, Rabu (3/2/2021) berlangsung khusyuk. (BP/Dokumen)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Umat Hindu Bali termasuk di Buleleng merayakan Hari Raya Pagerwesi pada Rabu (30/3) hari ini. Hari raya ini dirayakan setiap Buda Kliwon Wuku Sinta.

Secara etimologi, Hari Raya Pagerwesi memiliki maknsa untuk melindungi diri (Umat Hindu) dengan cara meningkatkan kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dari guru sejati. Pagerwesi dirayakan oleh setiap umay Hindu di tanah air ini. Namun, bentuk perayaanya dilakukan dnegan cara beragam.

Salah satunya di Buleleng. Umat Hindu menyambut dan merayakan hari raya ini dengan penuh suka cita. Bahkan, perayaannya sama seperti umat menyambut dan merayakan Galungan Kuningan yang jatuh setiap 6 bulan sekali.

Ini dibuktikan dengan prosesi perayaan Pagerwesi diawali dengan penampahan pada Selasa (29/3). Setiap Umat Hindu di Buleleng membuat lawar yang terbuat dari daging babi atau ayam serta campuran bahan lain dan bumbu lengkap.

Selain menjadi persembahan untuk banten, adonan lawar ini dijadikan makanan spesial oleh setiap Umat HIndu yang dinikmati bersama saduara dan kerabat dekat. Kemduian pada Rabu 30/3, sejak dini hari Umat melangsungkan persembahyangan.

Baca juga:  Stok Vaksin Terbatas, Jadwal Imunisasi JE di Beberapa Sekolah Ditunda

Mulai dari pura-pura umum hingga sanggah merajan dan persembahyangan di tempat bekerja atau melangsungkan aktivitas lain. Keunikan lain adalah, pada puncak Pagerwesi, umat di Buleleng melangsungkan persembahyangan di areal kuburan (setra) hingga taman makam pahlawan.

Saat persembahyangan di kuburan ini, Umat Hindu mempersembahkan banten punjung. Tujuannya selain memohon tuntunan dari leluhur yang telah mendahului, tradisi ini dipercaya sebagai bentuk ungkapan rasa suka saat berhari raya bersama leluhur yang telah meninggal, namun belum diupacarai ngaben. Usai sembahyang, umat melangsungkan makan bersama di areal kuburan.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Buleleng Gede Made Metera mengatakan, Pagerwesi merupakan hari pemujaan Siwa sebagai Pramesti Guru, Guru Sejati bagi seisi alam semesta terutama manusia. Manusia memiliki bayu, sabda, dan idep yaitu kemampuan bertindak, berbicara, dan berpikir yang memungkinkan bisa belajar dari guru untuk memeroleh ilmu dan keterampilan sebagai sarana melindungi dan mengembangkan diri.

Baca juga:  Penyeberangan di Sanur Normal

Perayaan Pagerwesi dilaksanakan pada setiap Buda Kliwan wuku Sinta. Pagerwesi biasa dimaknai sebagai pagar besi, pagar yang kuat untuk melindungi diri.

Makna masih relevan kini kalau yang dimaksud pagar yang kuat adalah ilmu yang diperoleh dari para Guru Sejati saat ini yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Pemaknaan Pagerwesi sebagai pemujaan Pramesti Guru menjadi relevan dan dapat dipahami jika dikaitkan dengan hari perayaan yang dilakukan sebelumnya pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung yaitu Hari Saraswati. “Kita umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya merayakan Hari Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan dengan melakukan pemujaan Dewi Saraswati sebagai Dewi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan Guru Sejati, guru yang berkompeten merupakan unsur yang penting untuk membentuk sumber daya manusia yang mampu melindungi diri dan mengembangkan diri,” katanya.

Perayaan Pagerwesi di Buleleng lebih meriah ketimbang perayaan Pagerwesi di wilayah Bali lainnya, menurut akademisi Universitas Panji Sakti (Unipas) ini karena kebiasaan ini bisa saja terkait dengan historis dan sosiologis masyarakat Buleleng. Mereka lahir dan terbentuk dari orang-orang kritis yang sadar ilmu dan sadar guru berasal dari berbagai wilayah lain di Bali datang ke Buleleng.

Baca juga:  Kendati Pandemi, Perayaan Pagerwesi di Buleleng Berlangsung Khusuk

Kemudian Pemerintah Kolonial membawa sistem persekolahan modern, membawa ilmu dan guru lebih dulu ke Buleleng dibandingkan wilayah lain di Bali.
Kenyataan historis dan sosiologis yang sadar pentingnya ilmu dan guru berdampak ke bidang religi.

Perayaan Pagerwesi sebagai pemujaan Guru Sejati, yang merupakan aktivitas religi dilakukan secara meriah di masyarakat yang sadar ilmu dan guru.
Perayaan Pagerwesi masih tetap dilaksanakan secara meriah, tidak jauh berubah dibanding perayaan Pagerwesi sebelumnya.

Hanya saja perayaan itu perlu diisi dengan aktivitas yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. “Kalau bentuk perayaan tak hanya berupa ritual pemujaan guru dan kegian euforia kemeriahan, namun menyertakan para guru dan menghargai guru itu sendiri,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *