MANGUPURA, BALIPOST.com – Kasus dugaan penyerobotan tanah di Ungasan kian memanas. Setelah mengadukan pelanggaran tata ruang dan penguasaan lahan negara di Desa Ungasan, Kasatpol PP Pemkab Badung I Gusti Agung Ketut Suryanegara kembali melaporkan bendesa dan perbekel ke Polresta Denpasar, Jumat (1/4).
Suryanegara melapor terkait dugaan berikan keterangan dan buat akta yang isinya palsu. “Bapak Bupati Badung memerintahkan saya didampingi Kabag Hukum dan penasehat hukum melaporkan sebagaimana dugaan pelanggaran Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP. Dimana pada garis besarnya ada dugaan memberikan keterangan palsu dan buat akta yang isinya palsu,” ujarnya.
Kata Suryanegara, sebelumnya setiap laporan itu harus berupa pengaduan masyarakat (dumas), tapi sekarang langsung diterima dalam bentuk laporan polisi. Laporan tersebut sedang berproses karena ada beberapa hal yang perlu dilengkapi. “Yang dilaporkan adalah pihak pertama (bendesa dan berbekel) yang menyatakan tanah di sana itu merupakan hak wilayah dan dibawah penguasaan serta pengelolaan mereka. Bukti ada enam akta dan satu surat perjanjian di bawah tangan atas dasar keterangan palsu,” ujarnya.
Objek antara dumas dan laporan polisi tersebut sama yaitu tebing dan pantai di Desa Ungasan. Tapi laporan sekarang menukik pada dugaan pidana pemalsuan surat. “Dulu (dumas) pokok dugaan pidananya tata ruang dan penguasaan lahan, titik berat kepada investor semua bergerak beach club. Sekarang dugaan pidana pemalsuan surat oleh pihak pertama (bendesa dan berbekel),” ucap Suryanegara.
Terendusnya pelanggaran tersebut, kata dia, berawal dari terbakarnya salah satu beach club. Saat datang ke TKP memastikan perizinan dan melakukan klarifikasi, Suryanegara kaget karena pantai dibuatkan surat perjanjian.
Setelah ditanya ternyata investor mengantongi akta. Selanjutnya dicek ke beberapa beach club lain dan sama. Mereka ngaku punya hak pengelolaan atas dasar akta dan surat perjanjian dengan bendesa dan perbekel. “Saat kami cek ternyata 6 pengelola memiliki akta dan satunya lagi punya surat perjanjian di nawah tangan,” tegasnya.
Beach club tersebut berstatus kontrak sejak 2009, tapi tertuang dalam akta 2011. Dalam akta atau surat perjanjian itu tertuang investor ada ngontrak ada yang 5 tahun dan paling lama 30 tahun.
Kontrak tersebut bisa diperpanjang 20-30 tahun. Dari tujuh beach club tersebut, satu tutup karena terbakar, dua tidak beroperasi karena pandemi COVID-19, satu proses pembangunan dan tiga masih beroperasi. “Tiga beach club yang masih beroperasi belum kami tutup karena karyawannya kebanyakan berasal dari Desa Ungasan. Selain itu masih menunggu penyelidikan kepolisian,” ungkap Suryanegara.
Kabag Hukum Setda Pemkab Badung Anak Agung Gde Asteya Yudhya menyampaikan, mencermati dari isi perjanjian yang diperoleh Kasatpol PP Kabupaten Badung melalui proses pemantauan di lapangan, secara substansi memuat atau mencantumkan suatu keterangan-keterangan palsu yang yang dimasukkan ke dalam akta otentik. Tentunya berdampak pada akta otentik yang berproses diantara para pihak tersebut sehingga terjadilah kegiatan-kegiatan yang diduga telah melakukan pelanggaran tata ruang.
“Kalau bicara tata ruang itu karena sudah masuk perlindungan setempat, pantai, tebing, tidak mungkin dilakukan pembangunan. Buktinya izin tidak pernah keluar,” ujarnya.
Menurutnya mencermati laporan tersebut sudah sudah jelas. Contohnya satu pihak menyatakan bahwa mempunyai hak untuk mengelola dan menguasai penuh lahan tersebut. Padahal sebenarnya punya hak terhadap hal itu. Terkait adanya pararem, Agung Asteya menegaskan Undang-undang Dasar 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat tapi tidak bertentangan dengan aturan sudah ada. (Kerta Negara/balipost)