I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

I Gusti Ketut Widana

Satu hal membedakan manusia dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya adalah adanya ‘Idep’ (pikiran) yang membuatnya selalu eksis. Tak
salah jika filsuf Prancis Descartes menyatakan cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada.

Ini pula sejatinya makna filsosofi ritual Tumpek Landep yang rutin dilaksanakan setiap 210 hari sekali pada Saniscara Kliwon wuku Landep. Secara tradisional lumrah diperingati dengan mengupacarai berbagai aneka rupa senjata tajam, seperti keris, tombak, atau senjata dewata nawa sanga yang biasanya dipergunakan sebagai bagian dari peralatan ritual/sakral.

Hanya saja fenomena kekinian, Tumpek Landep lebih
tampak sebagai ritual “ngotonin” motor, mobil, peralatan bermesin, perangkat kerja berbahan logam, hingga alutsista peralatan perang/tempur. Secara konseptual, ritual Tumpek Landep sebenarnya bermakna “landeping idep” — momen penajaman pikiran. Hasilnya berupa kemajuan ilmu pengetahuan plus teknologi yang kemudian bisa di-adep (dijual) untuk kepentingan idup — kehidupan dengan segala kebutuhan atau kepentingannya.

Jadi kehidupan itu tidak boleh dianggap idep-idepang idup, sekadar menjalani tanpa upaya ngidupin idep (mendayagunakan pikiran) yang sangat bermanfaat mengangkat harkat, derajat dan martabat manusia. Setidaknya ada empat hal dapat dilakukan umat: 1)
mengasah kemampuan berpikir, menguatkan pondasi keilmuan; 2) mengolah unsur materi (logam) menjadi lebih kreatif, inovatif, produktif dan prospektif; dan 3) menempatkan peralatan sebagai alat, bukan sebaliknya diperalat produk teknologi, yang menurut Frans Dahler (1980) memiliki karakter “apa yang bisa dicipta, ciptakanlah”, hingga kemudian bisa saja menjadi senjata makan tuan.

Baca juga:  PTM Berkelanjutan

Perihal ketajaman pikiran misalnya, jika dibiarkan bergulir tanpa kendali, ibarat pisau bedah analisis dapat melahirkan kekritisan tanpa batas hingga berbalik tidak percaya lagi terhadap hal-hal yang bersifat teologis atau magis, bahkan bisa terjerumus ke dalam gaya berpikir atheis. Apalagi terhadap perangkat teknologi, lumrah dikatakan bagaikan pisau bermata dua, bisa membawa manfaat bisa juga berkhianat.

Melalui ritual Tumpek Landep, isyarat ditunjukkan agar
umat berkemampuan menyinergikan idep (pikiran/rasio) dengan iman (sraddha/rasa) sebelum
hasilnya berupa ilmu pengetahuan dan produk teknologi di-adep (dijual) demi kasukertan idup
– kesejahteraan dan ketentraman hidup.

Baca juga:  Jelang Tumpek Landep, Cuci Motor Warga Binaan Lapas Tabanan Diserbu Warga

Hal ini sejalan pandangan Auguste Comte (1798-1857), bahwa gerak pikir manusia berkembang dimulai dari hal-hal bersifat teologik, lalu bergerak
ke arah metafisik dan berujung pada pemikiran positivistik. Berbeda dengan pendapat Roberston Smith (1846-1894), perkembangan pemikiran manusia
berangkat dari sesuatu yang bersifat magik, lalu
mengarah religik, baru kemudian bersandar
pada realita empirik.

Meski berlainan, kedua pandangan di atas tetap saja bermuara pada kancah permainan pikiran (idep) berbasis rasionalistik bergaya positivistik atau empirik dalam frame paradigma keilmuan yang memang lebih
laku dijual (adep) dalam konteks membangun kehidupan (idup) jagadhita — kesejahteraan dan
kemakmuran manusia.

Ritual Tumpek Landep itu sendiri, jika dikaitkan dengan instruksi Gubernur Bali Nomor 05 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Landep dengan Upacara Jana Kerthi sebagai Pelaksanaan Tata-Titi kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru, tampaknya sangat relevan. Amanatnya adalah bahwa hal pertama yang penting dijadikan pegangan adalah
bagaimana proses nglandeping idep (olah pikir) bisa seiring sejalan dengan upaya ngertyang jana — olah manusia menjadi seutuhnya, lahir-batin, material-spiritual.

Baca juga:  Tumpek Landep : Otonan Idep, Bukan Motor?

Konstruksi manusia itu sendiri meliputi unsur mind (idep/suksma sarira), soul (jiwa/antakarana sarira) dan body (badan/fisik/sthula sarira). Ritual Tumpek Landep jika dikorelasikan dengan Jana Kerthi sejatinya adalah sebuah proses Humanity — pemanusiaan, menjadikan manusia sebagai insan manusiawi.

Menanggalkan dan meninggalkan status homo animal yang semula bergerak berdasarkan naluri (insting)
menjadi bertindak atas dasar pikiran (homo sapiens) dan kemudian memuncak dalam posisinya sebagai homo religious — insan agamais. Hanya dengan begitu setiap aktivitas ritual, termasuk Tumpek Landep dan juga Jana Kerthi tidak terus menerus terjebak ke dalam pusaran permainan simbol, lalu kehilangan makna lantaran tanpa menimbulkan perilaku unggul yang memang harus diakui belakangan semakin mandul atau tumpul. Idep memang bisa di-adep, tetapi tidak untuk sekadar idup.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *