Warga Gegelang menggiring sapi sebelum digelarnya tradisi Jaga-jaga. (BP/Istimewa)

AMLAPURA, BALIPOST.com – Sejumlah desa adat yang ada di Karangasem mempunyai tradisi unik yang hingga saat ini tetap dilestarikan oleh masyarakat. Salah satunya, Desa Adat Gegelang, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem yang tetap menggelar tradisi Jaga-jaga.

Bendesa Adat Gegelang, Jro Mangku Ketut Arta, mengungkapkan, tradisi yang menggunakan sapi tersebut bertujuan untuk menetralisir roh-roh halus supaya tidak menganggu jalannya usaba dalem atau usaba sumping. Sapi yang digunakan bukanlah sembarangan sapi.

Pada tradisi tersebut, diharuskan menggunakan sapi jantan yang sudah disucikan. “Penyuciannya dilakukan dengan cara dikebiri dan disucikan selama tiga bulan, sampai sapi yang awalnya berwarna hitam menjadi merah. Bahkan setelah itu, sapi diberi nama jero gede,” ucapnya.

Baca juga:  Tadisi Magibung di Desa Adat Penglipuran Rekatkan Rasa Persaudaraan

Ketut Arta, menambahkan, tepat pada rahina tilem sasih kedasa, jero gede akan dibawa menuju pura khayangan tiga untuk matur piuning. Mulai dari Pura Puseh Telengan, kemudian digiring menuju Pura Dalem Gegelang.

Dalam perjalanan, diikuti oleh masyarakat, serta diiringi gambelan baleganjur. Setibanya di pura, sapi tersebut akan mengelilingi pura sebanyak tiga kali, kemudian dicambuk supaya keluar darah.

Untuk di Pura Puseh, akan dicambuk di bagian kanan belakang sapi, dan saat di Pura Dalem bagian kanannya. Disana sapi tersebut akan dimatikan oleh krama Desa Adat Gegelang. “Nanti setelah padem (sapi mati), sorenya dilaksanakan caru,” ucapnya.

Baca juga:  Desa Adat Kapal Pegang Teguh Pantangan Gunakan Bata Merah

Menurut, Ketut Arta, menjelaskan, Setelah selesai melakukan caru, mulai pukul 18.00 sampai keesokan harinya pukul 06.00, warga di sana tidak diperbolehkan keluar rumah. “Setelah caru, sorenya jam 6 sore (pukul 18.00) dilakukan penyepian adat sampai besok pagi jam 6 pagi (06.00),” paparnya.

Dia mengutarakan, tradisi jaga-jaga ini sudah ada sejak zaman dahulu, dan terus di lestarikan. Meskipun situasi Pandemi sedang marak-maraknya, tradisi ini tetap berjalan, namun krama- nya dibatasi. “Kalau ini tidak dikakukan, nanti ini mengakibatkan ada musibah disini (Gegelang). Karena ini bertujuan ngerahayuang jagat Gegelang,” katanya. (Eka Parananda/balipost)

Baca juga:  Desa Megati Cegah Alih Fungsi Lahan Lewat “Kampung Alpukat”
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *