Oleh Kadek Suartaya
Masyarakat Indonesia sangat familiar dengan seni tari warisan budaya bangsanya. Hampir setiap saat mereka berinteraksi dengan puspa ragam kesenian Nusantara ini. Jika jagat internasional mengenal Hari Tari Sedunia yang digelar pada tanggal 29 April, sementara di tanah Tanah Air kita, seni tari senantiasa dirayakan serta diapresiasi setiap detik dan menit di ruang publik seperti pasar, warung hingga toko-toko modern, juga disimpan di bank serta dielusayangi di sudut privat, dalam dompet bahkan bawah kasur.
Seksamailah, lembaran bagian belakang lembaran uang kertas rupiah kita. Mulai pecahan seribu hingga seratus ribu rupiah, menghadirkan gambar keindahan seni tari, yakni tari Tifa (Papua), Piring (Sumatera), Gambyong (Jawa Tengah), Pakarena (Sulawesi), Gong (Kalimantan), Legong (Bali), dan Topeng Betawi (Jakarta).
Rupiah sebagai alat tukar memamerkan keberagaman budaya bangsa majemuk ber-bhineka
tunggal ika. Sejarah kehadiran Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) memang sarat dengan perjuangan kedaulatan bangsa, ketika mulai beredar pada 30 Oktober tahun 1946. Rupiah Indonesia tak sebatas alat pembayaran melainkan juga didedikasikan sebagai lambang kedaulatan dan kemandirian bangsa sekaligus menjadi perekat tekad bersama menegakkan kemerdekaan. Untuk terus mengobarkan tekad persatuan dan kesatuan itu, rupiah hadir sumeringah dengan torehan gambar seni tari–selain penyertaan gambar figur pahlawan dan pemandangan alam—wujud kebudayaan adiluhung dan jati diri bangsa kita.
Tari, sebagai warisan seni budaya bangsa, pada rupiah kita, didaulat sebagai representasi pluralisme Indonesia, cermin kehidupan rukun damai, dan toleran. Atmosfer Indonesia yang tenggang rasa dan toleran itu berhembus semilir pada gambar aneka seni tari Nusantara uang kertas rupiah tersebut. Semisal, tari Legong (Bali) yang dimuat dalam pecahan 50 ribu rupiah–merupakan remisi keluaran tahun 2016.
Salah satu sikap tubuh ngubit dengan kipas ngiluk (menempel di dada) digambarkan seorang penari dengan kepala agak miring memandang ke depan disertai sorot mata berbinar. Tari Legong adalah masterpiece tari Bali yang sudah dikenal dalam terminologi seni pertunjukan dunia.
Gerakannya nan ekspresif indah serta dibawakan dengan gemulai oleh para penari yang elok, sungguh meneduhkan hati, membelai sanubari dan mencerahkan fajar budi. Tari ini, melalui bersitan lakonnya, mengumandangkan saripati kearifan.
Kearifan moral yang wajib dirawat dan disemai oleh bangsa Indonesia adalah takdir keberagaman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang telah diteguhkan
rupiah kita dengan lenggang damai seni tari. Moral toleransi yang dikomunikasikan uang rupiah dengan gambar seni tari dari penjuru pulau tersebut, perlu diaktualisasikan di tengah masyarakat masa kini Indonesia.
Pencanangan 2022 sebagai Tahun Toleransi oleh pemerintah kita, menunjukkan urgennya kesadaran berbangsa yang toleran diartikulasikan. Ini artinya, kewaspadaan terhadap seringai virus intoleran harus diperkuat alias jangan diberikan keramahan ruang untuk bertingkah masif dan berulah permisif.
Walau tak peduli dengan muatan toleransi dari hakikat keberagaman pada keindahan seni
tari dalam uang RI itu, namun sebaliknya rupiah sangat sakti bahkan mutlak didaulat meracik racun intoleransi, menebar radikalisme, dan menggelorakan laku barbar tororisme. Rupiah sebagai uang sangat vital perannya merengkuh hampir segalanya, termasuk menciptakan disharmoni bangsa, mencabik-cabik kerukunan masyarakat, menelikung kebenaran dan mencekoki ajaran linglung.
Ditengarai, dalam menyoyak indahnya pelangi tenggang rasa NKRI, tidak hanya digoreng dengan mengobarkan SARA dan janji-janji surga. Apabila intimidasi gertakan busuk intoleran memerlukan pengerahan dan pencitraan massa, sokongan modal uang wajib dihamburkan,
minimal untuk pendanaan nasi bungkus. Akan tetapi, apa pun itu, tarian Nusantara dalam uang rupiah, telah unjuk kiprah merajut keragaman berbangsa, berkontribusi langsung merawat kedaulatan negara.
Uang rupiah dengan gambar seni tarinya itu, mensyukuri sejuk dan damainya perbedaan dalam keberagaman. Tengok, betapa indahnya toleransi keberagaman itu, juga terpampang pada uang pecahan 75 ribu rupiah yang dikeluarkan tahun 2020 untuk memperingati
Kemerdekaan RI ke-75. Sebelah sisi lembaran rupiah itu menampilkan ragam wajah Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan budaya.
Jangan “Karena rupiah jadi pertumpahan darah, persaudaraan jadi pecah” (Rhoma Irama, lagu Rupiah, 1975). Justru kini, rupiah dengan toleransi tarian Nusantara-nya, bila dipanuti moralitasnya, menjauhkan kita dari kegaduhan.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya dan Dosen ISI Denpasar